Masih ingat kasus Manohara pada tahun 2009. Ya, pada tahun itu masyarakat
Indonesia dikejutkan oleh sebuah fenomena yang mungkin menurut mereka sungguh
mengejutkan. Seorang putri cantik nan jelita yang tadinya digadang-gadang bakal
memperbaiki dan mempererat hubungan diplomatik kedua Negara yang syarat akan
klaim-mengklaim, pupus di tengah jalan menyisakan sebuah kontroversi bagi
banyak pihak. Indonesia dan Malaysia, ya Negara yang selalu terlibat konflik
multi dimensi itu, sejak Bung Karno mendeklerasikan “ Ganyang Malaysia “. Sejak
saat itu, seolah kedua Negara saling mempertahankan eksistensi kedaulatan
masing-masing Negara, baik secara dejure ataupun defacto, baik melalui klaim
mengklaim batas wilayah ataupun kasus tenaga kerja Indonesia yang mencari
sesuap nasi di negeri ringgit itu. Belum lagi menyangkut isu-isu legalitas
budaya. Semuanya begitu kompleks, sehingga satu masalah selesai muncul
masalah-masalah baru lainnya.
Kasus yang paling panas dan memekakkan ratusan juta telinga rakyat
Indonesia adalah pengakuan seorang Manohara, perempuan blesteran
Indonesia-Amerika yang merasa mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari sang
suami. Tidak main-main, sang suami adalah putra Mahkota Kerajaan Kelantan, salah
satu kerajaan yang memiliki nilai tawar di Malaysia. Bukan hanya dengan putra
kerajaan Kelantan sebagai warga Negara Malaysia Manohara memperjuangkan
nasibnya, tetapi juga dengan kerajaan Kelantan sendiri yang merasa kebesaranya
dipertaruhkan hanya oleh seorang wanita yang saa itu belum genap 18 tahun.
Persoalan mendasar yang perlu diperhatikan bukan hanya sekedar karena
yang tertimpa kasus adalah seorang warga Negara sekelas Manohara. tetapi
persoalan ini seolah semakin mempertegas posisi tawar rakyat Indonesia di luar
negeri, khususnya di Malaysia yang sungguh tidak berdaya. Sebenarnya banyak
warga Indonesia selain manohara, yang megalami kasus serupa dengan konteks
berbeda. Bahkan secara eksplisit jauh lebih memilukan. Tetapi
persoalan-persoalan seperti itu selalu muncul waktu demi waktu. Persoalan satu
terselesaikan, muncul beberapa persoalan yang sebenarnya memiliki subtansi sama
dengan persolaan sebelumnya.
Manohara hanyalah salah satu potret buram warga Indonesia di Malaysia. Di
luar itu masih sangat mungkin banyak ditemukan “ Manohara-manohara “ lain, yang
tidak sampai terendus ke permukaan, entah karena tertutupi oleh keadaan,
ataupun sengaja ditutupi untuk kepentingan segelintir pihak dengan mengorbankan
banyak pihak. Tentunya hal ini perlu kita kaji dan dalami, mengapa kasus-kasus
yang seperti itu selalu saja muncul, dan seolah tidak ada efek jera bagi warga
Indonesia ( sebagai korban ), dan juga mereka yang merampas hak warga Indoensia
di luar negeri.
Tentunya, banyak dimensi proporsional untuk menggali jawaban mengapa
begitu seringnya warga Indonesia di Malaysia mengalami kejadian-kejadian
memilukan. Apakah karena mereka bekerja di Negara asing dengan latar belakang
stratifikasi rendah. Sebenarnya itu bukan jaminan, buktinya adalah Manohara
yang secara stratifikasi mestinya sejajar dengan bangsawan-bangsawan Malaysia,
mengingat ia dipersunting oleh salah seorang putra mahkota Kerajaan Kelantan.
Ataukah karena sentimen dalam ranah historisitas antar kedua Negara, dengan
mengaca kepada semangat “ganyang Malaysia “ ala mantan Presiden Soekarno.
Tentunya itu semua juga bukan jaminan pasti. Banyak hal yang harus dijadikan
acuan untuk mengungkap dan menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut di atas
itu.
Paling tidak, ada 2 hal yang bisa dijadikan acuan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan tersebut, pertama, peranan pemerintah
Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam hal ini sebagai organisasi yang mengayomi
dan melindungi warganya, dimanapun dan kapanpun, mestinya lebih selektif dan
kualitatif dalam memformulasikan kebijakan mengenai warga Negara Indonesia di
luar negeri, baik itu warga yang sedang menempuh belajar, bekerja, ataupun yang
sedang memiliki keadaaan harus tinggal dalam beberapa waktu di Negara orang.
Aturan yang menyangkut hak dan kewajiban warga Indonesia yang bermukim di luar
negeri harus jelas dan memihak, tanpa meninggalkan aspek keadilan kumulatif.
Semuanya harus benar-benar terjamin dalam hitam di atas putih, sehingga ketika
ada kasus-kasus berkaitan dengan hal tersebut, sudah ada jalur yang tepat untuk
dijadikan landasan. Ini bukan untuk menilai siapa yang salah dan siapa yang benar,
tetapi untuk memberikan sebuah pandangan yang baik terhadap warga Negara dan
pemerintah itu sendiri.
Termasuk dalam tanggung jawab pemerintah adalah, bagaimana mengupayakan
skill atau kemampuan yang baik dan marketable bagi warga Negara Indonesia, khususnya
yang bekerja di luar negeri. Sehingga bisa saja pemerintah membuat aturan tegas,
hanya memperbolehkan warga Negara yang bekerja di luar negeri, setidaknya
sebagai teknisi. Atau dengan kata lain pekerjaan yang tidak dipandang rendah
secara stratifikasi sosial. Mungkin terdengar lucu, jika warga Negara Indonesia
tidak boleh bekerja di luar negeri hanya karena pekerjaannya sebagai baby sitter.
Namun, sebenarnya hal ini diperlukan bukan hanya untuk mengangkat harga diri
Negara, tetapi juga menyangkut nilai tawar warga Negara Indonesia di luar
negeri.
Kedua, warga Negara. Kebanyakan kasus-kasus memilukan yang banyak
menimpa warga Negara Indonesia di Malaysia adalah karena mereka menyeberang
dengan illegal tanpa menggunakan paspor. Hal ini yang membuat mereka di sana
sulit mendapatkan pekerjaan layak dengan berbagai jaminan social. Sehingga
nilai tawar warga Negara Indonesia yang menyeberang ke Malaysia dengan jalur
illegal itu sangat rendah. Logikanya adalah, bagaimana mungkin mendapatkan
jaminan hukum ketika kita datang saja
sudah dengan melanggar hukum. Inilah persolan dilematis bagi siapapun yang
merasa tidak ada jaminan kemapanan, bahkan mungkin di negeri sendiri. Dalam hal
ini sangat diperlukan kesadaran warga Negara terhadap pentingnya mengetahui dan
menjalankan hukum, bukan demi siapa-siapa, melainkan demi jaminan hak untuk
dirinya sendiri.
Pertanyaannya sekarang adalah, bisakah kita menarik
benang kusut, dalam hal ini peranan pemerintah Indonesia dan juga warga Negara
Indonesia. Bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia bersikap, dan juga bagaimanakah
warga Indonesia bertindak, sekalipun itu untuk mencari apa yang menjadi haknya,
hak untuk hidup layak. Yang jelas, kita harus belajar dari kasus Manohara pada
2009 lalu, sehingga tidak akan muncul lagi “ Manohara-Manohara “ lain. (Al-Musthofa-Deg)
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar