Oleh : Drs. H.Kaswadi, M.  Hum *)

Ada beragam pengertian korupsi yang dikemukakan oleh berbagai kalangan. Keberagaman pengertian tersebut disebabkan oleh beragamnya dimensi yang digunakan para pakar dalam memahami korupsi. Namun, secara umum dari berbagai pengertian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni pengertian korupsi  dalam dimensi yang khusus atau sempit dan umum atau luas. Dalam pengetian khusus,  pengertian korupsi lebih berkaitan dengan dimensi hukum. Misalnya, pengertian korupsi yang dirumuskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut KPK, korupsi adalah semua penyalahgunaan penggunaan kewenangan yang menyebabkan kerugian negara dan oleh karena itu dianggap sebagai tindak pidana. Berdasarkan pada definisi tersebut, penyalahgunaan kewenangan berbentuk (1) suap menyuap, (2) penggelapan dalam jabatan, (3) perbuatan pemerasan, (4) perbuatan curang, dan (5) benturan kepentingan dalam pengadaan. Dalam pengertian luas, pengertian korupsi lebih berdimensi sosial budaya yang tercermin dalam praktik pergaulan masyarakat umum, yakni korupsi dimengerti sebagai tindakan mengurangi atau mengambil sesuatu secara tidak sah. Dalam pengertian ini kemudian muncul kata korupsi waktu, korupsi bicara, korupsi informasi, dan lain-lain. Pengertian korupsi dalam arti umum tersebut sepertinya diakibatkan oleh perluasan makna korupsi dalam arti khusus.
Korupsi  sering digolongkan sebagai extra ordinary crime bagi Indonesia. Kejahatan tersebut sudah membelit sangat kuat negara dan bangsa Indonesia seperti gurita raksasa membelit mangsanya. Tidak mengherankan, ketika pemberantasan korupsi mulai menggeliat, banyak tokoh, pejabat, dan pembesar negeri ini dijebloskan ke penjara dengan cap koruptor. Orang-orang, figur-figur yang selama ini dikenal sebagai pemimpin yang namanya harum memenuhi seantero negeri ternyata hanya seekor tikus busuk yang dengan ganasnya menggeroti negara, menebarkan penyakit kemiskinan rakyat Indonesia.
Banyak hal yang sudah dilakukan dan diwacanakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi ini. Beberapa hal yang dimaksud, misalnya, penguatan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman, pembentukan institusi penegak hukum baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor, pembuatan undang-undang antikorupsi, dan sebagainya. Satu di antara gagasan pemberantasan korupsi yang telah diprakarsai oleh pemerintah adalah pendidikan antikorupsi di sekolah.
Kehendak memasukkan pendidikan antikorupsi di sekolah bukanlah kehendak yang latah, sebaliknya merupakan niat yang sungguh mulia. Kehendak tersebut tentu dilatarbelakangi oleh kegelisahan akan masa depan bangsa tercinta ini. Virus korupsi yang demikian ganas telah menyerang syaraf, sendi, dan tulang sumsum bangsa ini tidak mustahil akan menjangkiti juga generasi muda. Bila hal tersebut terjadi, bisa dipastikan masa depan bangsa ini akan jatuh di comberan. Tidak ada pilihan lain kecuali menyelamatkan, menyiapkan mereka menjadi generasi yang mampu membangun bangsa ini ke zaman kecemerlangan.
Ditinjau dari konteks pendidikan, tindakan untuk mencegah, mengurangi dan bahkan memberantas korupsi adalah keseluruhan upaya untuk mendorong generasi mendatang mengembangkan sikap tidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi dan bahkan menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi. Perubahan persepsi dari sikap membiarkan dan menerima ke sikap menolak terhadap korupsi tidak akan pernah terwujud apabila tidak dilakukan pembinaan secara sadar terhadap kemampuan generasi mendatang untuk memperbarui sistem nilai yang dirwarisi sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap perjalanan bangsa.
Upaya pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan harus dilakukan karena didak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan wahana yang sangat strategis untuk membina generasi muda dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan termasuk anti-korupsi. Selain itu juga memiliki tingkat keefektifan yang tinggi dalam membentuk suatu pemahaman yang menyeluruh pada masyarakat tentang bahaya korupsi. Dari pemahaman itu diharapkan menghasilkan suatu persepsi atau pola pikir masyarakat Indonesia secara keseluruhan bahwa korupsi adalah musuh utama bangsa Indonesia. Dengan demikian, upaya pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan bukanlah sebuah alternatif melainkan sebuah keniscayaan.
Pendidikan Antikorupsi di Sekolah
Pemerintah, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, pada bagian Diktum ke-11 (Instruksi Khusus) poin ke 7 menugaskan  Menteri Pendidikan Nasional untuk menyelenggarakan pendidikan yang berisikan substansi penanaman semangat dan perilaku antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan baik formal dan nonformal.Berdasarkan intruksi tersebut, maka Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar menyusun Model Pengintegrasian Pendidikan Antikorupsi melalui Kegiatan Pembinaan Pendidikan Kewarganegaraan untuk satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiah (SMP/MTs).
Kebijakan pemerintah tentang pendidikan antikorupsi tersebut termaktub pada Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi yang telah dipaparkan di atas, antara lain disebutkan bahwa PKn dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran, wawasan dan sikap serta perilaku antikorupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi masyarakat dan negara Indonesia, karena saat ini semakin marak bahkan telah menyentuh dan menjadi “the way of life” bangsa Indonesia. Oleh karena itu PKn harus memberikan kontribusi dalam upaya pemberantasan korupsi yaitu dengan memberikan penekanan dan wadah yang lebih luas bagi terselenggaranya pendidikan antikorupsi dalam perencanaan dan penyusunan perangkat pembelajaran maupun dalam proses pembelajarannya. Dengan penekanan dan wadah yang lebih luas tersebut diharapkan peserta didik sejak dini sudah dapat memahami bahaya korupsi dan selanjutnya terbangun sikap antikorupsi dan perilaku untuk tidak melakukan korupsi.
Pemilihan PKn sebagai wahana pendidikan antikorupsi tersebut bisa dimenegrti sebab secara konsep, dapat dikemukakan bahwa PKn adalah pengorganisasian dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan penekanan pada pengetahuan dan kemampuan dasar tentang hubungan antar warganegara dan warganegara dengan negara yang dilandasi keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, nilai luhur dan moral budaya bangsa, memiliki rasa kebangsaan (nasionalisme) yang kuat dengan memperhatikan keragaman agama, sosiokultural, bahasa, dan suku bangsa, serta memiliki jiwa demokratis yang diharapkan dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Dengan kata lain bahwa materi/konten PKn di Indonesia terdiri atas beberapa disiplin ilmu yang memerlukan pengorganisasian materi secara sistematis dan pedagogik, seperti ilmu hukum, politik, tatanegara, humaniora, moral Pancasila, psikologi, nilai-nilai budi pekerti, dan disiplin ilmu lainnya. Dengan demikian secara substansi mata pelajaran PKn terbuka terhadap perubahan dan dinamika yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Yang perlu menjadi catatan dan koreksi kebijakan tersebut adalah penggunaan PKn sebagai satu-satunya wahana penyampai materi pendidikan antikorupsi. Hal tersebut selain kurang berdaya guna juga mengabaikan potensi mata pelajaran lain untuk didayagunakan dalam upaya pemberantasan korupsi. Bukan hanya PKn, semua mata pelajaran sebenarnya memunyai potensi untuk digunakan sebagai wahana penyampaian materi pendidikan antikorupsi, yakni dengan cara mengintegrasikan materi pendidikan antikorupsi pada aspek pendidikan karakter masing-masing mata pelajaran.  
Sebagaimana telah umum diketahui, pemerintah melalui Kemendiknas telah mencanangkan program pendidikan karakter di sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan menjadi pusat pembangunan karakter bangsa (centre of nation character building). Pendidikan karakter ini bukan mata pelajaran, tetapi nilai-nilai karakter tersebut harus ditanamkan kepada siswa melalui proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas.
Kemendiknas (2010) dalam buku pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah menjelaskan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Kemendiknas juga menjelaskan bahwa nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber (1) agama, (2) Pancasila, (3) budaya, dan (4) tujuan nasional. Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikaasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa yangmeliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Kalau  dicermati  nilai-nilai yang telah dirumuskan kemendiknas yang harus dididikkan dan dikembangkan dalam rangka membangun karakter siswa tersebut paralel dan senafas dengan pendidikan antikorupsi. Nilai-nilai yang dimaksud, misalnya, religius, jujur, disiplin, kerja keras, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, peduli sosial, dan tanggung jawab. Karena itu, pendidikan antikorupsi sangat memungkinkan diintegrasikan dalam pendidikan karakter. Pengintegrasian yang dimaksud ditempuh dengan cara menggunakan materi pendidikan antikorupsi sebagai contoh atau pokok bahasan dalam mengembangkan nilai-nilai tertentu. Misalnya, pendidikan antikorupsi dapat digunakan sebagai contoh dalam mengembangkan nilai religius dengan mengaitkan tindak korupsi sebagai perbuatan melanggar agama. Pendidikan antikorupsi juga dapat digunakan sebagai contoh dalam mengembangkan nilai tanggung jawab dan cinta tanah air dengan mengaitkan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan dapat menghancurkan bangsa.
Kesimpulannya, pendidikan antikorupsi di sekolah sangat strategis dilaksanakan dalam rangka membangun karakter antikorupsi anak bangsa. Walaupun begitu, harus disadari bahwa hal tersebut hanyalah merupakan satu di antara upaya-upaya yang seharusnya ditempuh bangsa ini dalam rangka pembasmian penyakit korupsi yang telah akut menjangkiti bangsa. Di samping itu, pendidikan antikorupsi di sekolah juga bukan merupakan satu-satunya dan obat paling mujarab dalam mengatasi korupsi, karena juga harus disadari bahwa korupsi merupakan fenomena kompleks yang berkaitan dengan berbagai faktor yang melingkupi bangsa ini, misalnya, sejarah, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Untuk mewujudkan Pendidikan Antikorupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dikemukakan oleh Lickona (1991),  untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang.

*) Kepala MTs Ulumiyyah.

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Majalah Al-Ittihad © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top