Oleh : Ismawati*)
Namaku Na’imul
Firman Al-Abbas. Aku biasa disapa disapa Alif. Ayahku bernama Abbas dan ibuku
Irma. Aku salah seorang murid di sebuah MTs favorit di kota Padang, Sumatra
Barat. Kini aku duduk di bangku kelas 3 bersama seorang teman karibku, Sam.
Saat ini kami hanya menunggu kelulusan setelah berperang menghadapi UN.
Seminggu
setelah kelulusan aku tidak menghabiskan waktu liburku berkunjung ke rumah
nenek. Aku hanya bermain bersama Sam.
”Sam, setelah
ini dirimu akan melanjutkan kemana?“ tanyaku dengan nada santai.
”Lif, seperti
yang aku ceritakan kepadamu dulu, aku ingin melanjutkan pendidikan di sebuah MA
terkenal di Sumatra,” jawab Sam sambil menerawang.
Mendengar
jawaban Sam tadi, sejenak aku berfikir. Berbagai bayangan tiba-tiba hadir
menyesakkan kepala ini.
“Apa kau yakin
tidak berubah fikiran,” aku mencoba meyakinkan sahabatku itu.
Aku benar-benar
tertegun mendengar niat dar sahabat sejak kecilku itu. sesungguhnya hati ini
ingin sekali mengikuti jejak Sam kenamapun ia melanjutkan skeolahnya. Namun
emmang, orang tuaku tidak mengiinkannya.
Karena hari
menjelang sore, aku segera mengajak Sam pulang ke rumah.
”Lif,salam
untuk ibu dan ayahmu aku tidak bisa mampir, ayahku sudah menunggu,” kata Sam
sambil melambaikan tangan.
Sesampainya di
teras rumah, aku berhenti sejenak. Kudengar sayup-sayup kedua orang tuaku
berdebat tentang diriku. Jelas terdengar arah pembicaraan mereka, tentang msa
depan pendidikanku. Aku memilih menunggu mereka selesai berdebat, dari pada
masuk rumah dan akhirnya harus terlibat dalam perdebatan mereka.
“Alif, kenapa
masih di luar,” tanya Ayah Alif dengan wajah mterlihat memerah.
“Lif Besok
lusa, kamu tak antar ke pesantren. Kepuutusan ini sudah ayah dan ibu
bicarakan,” kata ayah lagi.
Kabut kembali
menyelimuti suasana pagi yang begitu dingin. Sang mentari pun begitu tulus
menyinari hamparan padi petani yang muali menghijau. Terdengar kokok ayam
bersahutan dan suara kendaraan mulai meramaikan kampung kecil ini. dalam hati
aku berharap, sahabatku Sam, akan datang bermain ke rumahku. Ternyata harapanku
terkabul. Dari jauh terlihat Sam menuju rumahku dengan sepeda antiknya.
”sreeetttt,”
diiringi suara gesekan rem, sepeda Sam tepat berhenti tepat di halaman rumahku.
”Lif, kapan
kamu berangkat ke pesantren?” tanya Sam terburu-buru.
”kamu lihat sendiri
kan sobat, kardus–kardus ini,” jawabku sambil menunjuk ke arah pintu.
”Jaga dirimu
baik-baik Lif. Semoga kelak nanti aku bisa menyusulmu, terimalah jam beker biru
dan al-qur’an ini untuk kenangan,” kata Sam sambil menyerahkan dua benda itu
kepadaku.
Aku benar-benar tidak menyangka, ternyata Sam
benar-benar mendukungku memperdalam ilmu agama di pesantren. Aku ingat jam
beker biru dan Al-Qur’an kecil itu barang yang selama ini Sam sayangi. Tapi,
kenapa dia memberikannya kepadaku.
”Bukannya
ini,,,,,” kataku tersendat.
“Sudahlah, ini
mungkin yang bisa aku berikan dan jauh lebih berguna untukmu,” kata Sam
meyakinkan.
******
Setelah
beberapa jam, bus yang aku tumpangi
meninggalkan kota Padang. Hari semakin gelap, jam beker yang diberikan Sam menunjukkan pukul 20.30. Aku terbangun
dari tidurku karena merasakan goncangan seperti gempa. Ternyata, bus yang kutumpangi
melewati batu-batu kecil di sepanjang jalan. Aku melihat ayahku masih terjaga
dari tidurnya.
Setelah memasuki
Jakarta dan berganti bus, aku kembali menghabiskan perjalanan dengan tidur. Entah
berapa jam aku tertidur, yang jelas rasanya lama sekali. Aku terbangun saat
merasakan hembusan angin begitu dingin menyebtuh kulit. Ternyata bus yang aku
tumpangi bersama ayah sudah memasuki wilayah timur di Jawa Tengah. Begitu
melelahkan rasanya perjalanan ini, hingga pantatku susah untuk digerakkan.
Setelah berhenti sejenak untuk shalat shubuh di sebuah surau kecil, bus kembali
melanjutkan perjalanan.
Matahari
bergerak mengiring suasana menjelang pagi ketika akhirnya aku sampai juga di
pesantren yang ayah maksud.
”Nak, ini
pesantren yang ayah ceritakan kepadamu. Disini banyak kenangan indah bersama
teman-teman nyantri ayah yang sudah pada sukses,” kata ayah kembali
menceritakan masa lalunya saat pesantren ini.
Kami langsung
menuju ruang sekretariat, kemudian diarahkan oleh seorang pengurus pesantren menuju
dalem kyai untuk sowan. Aku tidak turut serta amsuk ek dalem kyai
dan hanay menunggu di teras. Setelah lama menunggu, akhirnya ayah keluar juga
dari kediaman kyai. Oleh pengurus tadi, kami diantar berkeliling sekitar
pesantren. Ia menunjukkan kepada kami salah satu kelapa unik dengan cabang
sembilan. Aku begitu terkagum, baru kali ini mendapati pohon kelapa bercabang
sembilan, berdiri kokoh dan tumbuh subur di belakang asrama putra.
”Ayah,
menakjubkan sekali kelapa bercabang ini,”
kataku sambil menggeleng-geleng kepala.
”Pohon kelapa
bercabang ini memang menakjubkan. Itu semua atas kehendak Allah dan ini
merupakan ciri khas pesantren ini hingga mudah dikenal siapapun,” pengurus yang
mengantar kami.
Setelah cukup
lama kami mengitari asrama, kami kemali
diantar menuju kediaman kyai. Ayah pun memasrahkan diriku kepada pemilik
pesantren itu.
”Kamu yang taat
dan manut sama kyai. Ayah langsung pulang saja ke Sumatra,” tutur ayah
menasehatiku.
Suasana hatiku
begitu syahdu. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, ternyata kini aku telah menjadi
santri dan merasakan bagaimana belajar hidup di penjara suci.
******
Jam menunjukkan
pukul 07.00 WIB. Itu artinya para santri
harus bersiap-siap untuk ro’an (kerja bakti). Namun, aku justru
berdiri layaknya patung melihat aktifitas santri yang bagiku sangat unik.
Mereka beersemangat dan heboh membersihkan lingkungan pesantren tanpa
dikomando, seheboh mahasiswa yang sedang melakukan aksi unjuk rasa.
Aku kaget
tiba-tiba muncul seorang santri mendekatiku. Ternyata ia adalah santri yang
kemarin mengantarku dan ayah di kediaman kyai. Dilihat dari gelagatnya, ia jauh
lebih tua dariku.
”Assalamu’alaikum
akhi,” ucap santri tersebut sambil mendekatiku.
“Wa’alaikum
salam,” jawabku singkat.
Kemudian aku
diajaknya untuk duduk di sebuah bangku tua sudut pesantren. Ternyata ia bernama
kang Hakim, seorang santri senior di pesantren ini. Sorot matanya tajam,
membuat hati ini sedikit takut. Terbayang, cerita-cerita dari temenku di
kampung jika ada santri baru di pesantren maka akan diplonco terlebih
dahulu oleh santri lama.
”Ente
gak ikut ro’an lif, kok diam saja dari tadi,” kata kang Hakim.
Mendapat
pertanyaan itu, aku hanya memasang senyum ramah.
“Kalau begitu
ikut aku yuk,” sahut kang Hakim lagi.
Aku iyakan saja
ajakannya.
”Kang aku masih
pengen lihat kelapa bercabang itu kang, bisa gak nemeni aku,” pintaku.
”Boleh, memangnya
di kampungmu tidak ada ya?” tanya kang Hakim.
”Ada sih kang,
tapi tidak seindah pohon di pesantren
ini. lagian cabangnya tidak sebanyak ini,” jawabku penuh muali pede.
Saat berjalan
bersama kang Hakim menuju kelapa bercabang itu, aku merasakan ada yang aneh. Setiap
aku berbincang dengan kang Hakim, santri lainnya menatapku seakan ada kyai
besar tengah sambang ke pesantren mereka.
“Ada apa
kira-kira kok semua santri menatap ke arahku,” gumamku dalam hati.
Tiba-tiba, terdengar
suara memanggil nama kang Hakim. ”kang sampean
di timbali mbah yai sekarang. Beliau ada di ruang sekertariat,” kata salah
seorang santri kepada kang Hakim.
”Maaf Lif, aku ada
panggilan. Ente bisa kan keliling sendiri,” kata kang Hakim
terburu-buru.
Tiba-taba,
seorang santri lain yang ternyata bernama Aam sudah muncul di belakangku. Ia cerita
panjang lebar tentang kang Hakim. Menurut penuturannya, kang Hakim adalah ketua
pondok. Ia merupakan sosok yang disegani oleh kalangan santri di pesantren ini.
“Tapi orangnya have
an opemind kok,” cetus Aam melanjutkan cerita tentang kang
Hakim.
******
Senja sudah
mulai berganti petang. Matahari pun sudah hilang tertelan kegelapan. Kini, aku
harus kembali ke asrama karena selepas magbrib harus mengikuti ngaji Bidayatul
Hidayah dengan mbah yai. Semua santri harus sudah stand by di musholla lebih dulu kyai
datang. Kalau terlabat, harus siap-siap kena takzir (hukuman).
”Zal, kamu tahu
baju putih yang kutaruh di almariku
gak,” tanyaku terburu kepada Rizal, teman satu ghotaanku.
”Pakai saja
punyaku, cepet keburu mbah kyai sampai di musholla lebih dulu,” jawab Rizal
membuatku gugup.
Aku dan rizal
segera pergi dan tanpa babibu, kusambar saja kitab warna kuning di atas
rak buku milik bersama. Karena takut ketinggalan ngaji, kami terpaksa ghosob
sandal santri lainnya. Setelah sampai di musholla, kutarik nafas panjang-panjang
dan langsung saja kubuka kitab yang kubawa tadi. Sambil menunggu kyai, aku
berniat muthola’ah terlebih dahulu.
”Subhanallah,”
tanpa sadar aku bertashbih dengan keras.
Aku kaget, ternyata
yang kubawa bukanlah kitab Bidayatul Hidayah, melainkan buku Geografi. Dengan
sedikit gugup bercampur malu aku kembali melesat ke asraam untuk mengambil
kitab Bidayatul Hidayahku.
”Hahaha,
mungkin ini akibat dari ghosob sandal,” kataku sambil tertawa dalam hati.
*** Tujuh tahun
kemudian ***
Selama
bertahun-tahun aku mengabdikan diri di pesantren kelapa bercabang. Suka dan
duka kulewati dengan rasa ikhlas penuh kesabaran. Alhasil, apa yang selama ini
kuimpikan menjadi kenyataan. Aku mampu menjadi seorang hafidz (penghafal Al-Qur’an).
Kembali teringat dalam benak, ini adalah impian masa lalu bersama Sam, teman
kecilku yang kini entah dimana keberadaannya. Mungkin karena ketawadhu’an,
ketaatan dan kerendahan hati yang kumiliki, mbah yai rela mengeluarkan biaya
untuk kelanjutan pendidikanku. Aku disekolahkan oleh mbah yai untuk belajar
ilmu umum umum pada sebuah Universitas Islam Negeri terkemuka di Indonesia. Sebuah hal yang sama sekali
belum pernah terimpikan sebelumnya.
Setelah
beberapa tahun kuliah, aku menjalani wisuda
bersama 200 mahasiswa lainnya. dalam hati aku amsih belum percaya apa
yang pencapaian ini. Haru, senang dan bangga campur aduk menggelora dalam dada.
Tanpa kuduga, ternyata hadir pula mbah yai bersama kang Hakim, Rizal dan temen
santri lainnya dalam wisudaku. Bukan itu saja, di pojok ruangan wisuda ternyata
terlihat dua orang tua berkaca mata. Tak salah lagi, ia ternyata orang tuaku
yang sudah lama tak kucucup tangannya. Mbah yai sengaja mengundang kedua orang
tuaku untu mengahdiri acara wisuda.
Belum lagi rasa
haru dan heran hilang, tiba-tiba seorang pemuda yang begitu aku kenal sosoknya
menghampiriku. Sam, ya ia adalah Sam. Teman karib yang selau berbagi suka dan
duka semasa kecil. Ternyata Sem telah terlebih dulu meraih gelar sarjana dari
Universitas agama di kota Padang. Ia kuliah dengan mendapatkan beasiswa dari
pemerintah.
“Sam, Allah
begitu sayang kepada kita. Hingga selama tujuh tahun berpisah, kita masih bisa
bertemu lagi,” kataku sedikit bergetar haru.
“Sam, aku diamanahi kyaiku, setelah lulus dari
kuliah harus mengamalkan ilmuku. Dan aku akan mengajar di sebuah lembaga pendidikan
yang bernaung di yayasan pesantrenku. Lalu dirimu akan kemana?” tanyaku pada
Sam.
“Seperti yang
pernah kukatakan kepadamu, suatu saat nanti aku akan menyusulmu entah dimanapun tempatnya. Aku dikirim oleh pemerintah ke Jawa
untuk membantu mengajar. Tahu gak Lif, aku ditempatkan di MA Ulumiyyah. Itu
tempatmu mengajar juga kan?” jawab Sam sambil merangkulku haru.
*) Siswa kelas IX MTs Ulumiyyah Kebonharjo Jatirogo, eks Pimpinan Redaksi Majalah Al-Ittihad.
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar