Oleh : Ismawati *)

Bagi kalangan muslim, Islam secara mutlak diyakini sebagai agama yang diridhoi Allah, nan sempurna lagi abadi. Ajaran Islam banyak dijumpai dan disebarkan melalui lembaga pesantren. Sebagai lembaga yang dirintis oleh para ulama, pesantren merupakan tempat dimana para santri mendapatkan gemblengan ilmu agama dari sang kyai. Kebutuhan yang dibutuhkan tidak hanya untuk spiritual jiwa rohani semata, tetapi juga kekuatan jiwa raga. Hal itu merupakan wujud persiapan mental diri mendapatkan sebelum mendapatkan ilmu.
Setiap pesantren memiliki ciri khas dan makna tersirat yang menyimpan nilai filosofis sangat tinggi. Adapun ragam budaya, bahasa, amalan-amalan dan norma untuk mengatur kehidupan adalah hal yang identik dengan lembaga yang biasa disebut penjara suci ini. Pada dasarnya lembaga pesantren memiliki banyak hubungan yang sinkron dengan sifat kemandirian. Karena pada hakekatnya kemandirian adalah hal yang mampu memberikan pengaruh baik sesuai konteksnya.

Pesantren dan sifat kemandirian adalah simpul yang saling mengikat. Sebab dipandang secara dhohiriyah, pesantren memiliki andil dan peran sangat besar sebagai sub pendidikan dan pembangunan sosial kultural di Indonesia. Di Indonesia, kata pesantren sudah tidak lagi asing di telinga masyarakat.  Selama ini pesantren dikenal sering menciptakan terobosan baru dengan membentuk organisasai internal membnatu perkembangannya. Pembentukan dilakukan baik secara struktural maupun non-struktural.

Pengelolaan lembaga pesantren dengan mengintegralkan beberapa upaya penunjang pembelajaran ilmu-ilmu pesantren. Faktor penunjang itu yang akan mampu mengtransformasikan pesantren yang mandiri ke dalam sebuah ‘industri’. Tentu saja, ‘isndustri’ di sini bermakna konteks pesantren. Di sini, penulis ingin memaparkan terlebih dahulu bagaimana bisa tercipta sebuah kemandirian pesantren. Lalu, hal apa yang bisa dilakukan untuk menciptakan kemandirian pesantren.

Kemandirian sendiri dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki pengertian keadaan dapat berdiri sendiri tanpa ketergantungan orang lain. Pesantren, adakalanya memiliki dua sifat layaknya manusia, yakni sosial dan individu.

Namun, dalam konteks ini sifat individulah yang lebih pas dan dominan. Pesantren bersifat individu atau mandiri karena inisiatif dari lembaga pesantren atau yayasan yang biasanya menaunginya. Misalnya, untuk mengembangkan kelajuan kurikulum atau perekonomian maka dilakukan berbagai upaya. Menurut Moh Arifin Purwakanata , direktur institut inovasi sosial indonesia, pemberdayaan ekonomi pesantren dapat dilakukan dengan berbagai upaya seperti dalam bentuk pengelolaan Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren). Dalam pandangan ini, koperasi pondok pesantren bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembiayaan operasional pesantren baik untuk pembiayaan makan santri  maupun memenuhi misi dan visi pendidikan.

Menurut pandangan penulis, ada tiga macam unsur terkait kemandirian dalam konteks pesantren. Pertama, kemandirian financial. Kemandirian ini secara riil meliputi semua biaya operasianal pesantren dari pihak pesantren sendiri. Selain mengelola koperasi pondok pesantren, biaya operasional pesantren tentu sangat mungkin bisa didapatkan dari program lainnya. Misalnya, pengolahan lahan sawah milik kyai atau yayasan. Selain itu, pesantren juga bisa menarik infaq.

Banyak yang bisa dialokasikan dari aspek kemandirian financial dalam konteks pesantren. Beberapa diantaranya bisa dialokasikan untuk penyediaan fasilitas, sarana prasarana, gaji pengajar atau ustadz. Semua itu bisa dipenuhi dari berbagai kegiatan yang dilakukan pesantren, seperti Kopontren dan pengelolaan lahan.

Kedua, kemandirian kurikulum. Kemandirian kurikulum dalam pesantren dapat diciptakan melalui rangkaian kegiatan pembelajaran yang mengarah pada education, seperti adanya program bidikmisi Tahfidzul Qur’an yang dilaksnakan oleh pemerintah untuk santri berprestasi. Selama ini pesantren telah berhasil menciptakan kurikulum sendiri tanpa harus dibantu oleh pemerintah. Pengurus pesantren, secara turun temurun telah mampu menciptakan konsep pemeblajaran melalui beberapa tingkatan. Misalnya, kajian kitab Taqrib yang membahas persoalan Fiqh biasanya diberikan untuk santri di kelas awal. Namun untuk santri yang lebih senior akan diberikan kajian Fiqh dalam kitab Fatqul Qorib yang penjabarannya lebih komprehensif. Ini yang bisa disebut sebagai kemandirian pesantren di bidang kurikulum.

Ketiga, kemandirian sosial. Kemandirian ini mencangkup diselenggerakannya kegiatan yang bersifat kemasyarakatan sebagai bagian dari aktualisasi ilmu yang sudah dipelajati santri. Tolak ukur atau indikator dari kemandirian ini cukup beragam, seperti peringatan maulid rosul dengan masyarakat serta pawai bertemakan sosial yang juga melibatkan masyarakat. Adanya budaya gotong royong yang begitu melekat di kalangan santri juga bisa dijadikan sebagai salah satu acuan kemandirian sosial bagi pesantren. Sebagai contoh, bagi seorang santri tentu tidak tabu dengan istilah ro’an. Ro’an adalah kerja bakti yang dialkuakn oleh seluruh santri dalam mengerjakan suatu hal. Pesantren tidak pernah lepas dari sikap kebersamaan yang begitu kental. Ini yang menurut penulis salah satu wujud riil kemandirian sosial pesantren.

Selain hal di atas, dalam pandangan lainnya kemandirian bisa mencakup atas keserasian dan kesinkronan dari tiga unsur, yakni kognitif (ilmu), afektif (moral) dan psikomotorif (amal). Ketiga aspek itu, pada praktiknya juga sangat berkaitan erat dengan sifat kemandirian pesantren. Selama ini alur ilmu-moral-amal sudah dijalankan secara berkesinambungan di pesantren. Santri diwajibkan belaja ilmu. Santri juga diwajibkan memiliki moral dari ilmu yang didapatnya itu. Serta santri pun juga diwajibkan mengamalkan ilmu yang didapatnya itu, Karena, ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.

Dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pesantren dan sifat kemandirian sangat berkaitan erat, bagai simpul yang saling mengikat. Kemandirian berpotensi besar dimiliki oleh setiap pesantren. Sebab, selama ini pesantren sudah menjalankan dan menciptakan kemandirian di bidang financial, kurikulum serta sosial. Hanya saja, bisa jadi sebagian diantaranya belum tertata secara baik dan terprogram. Hal itulah yang berpotensi membawa pesantren sebagai sebuah ‘industri’. ‘Industri; positif sesuai dengan konteks pesantren, mengajarkan ilmu, moralitas keilmuan sekaligus mengamalkannya. Ini justru menjadi ‘industri’ yang tak ternilai bagi pembangunan nasional yang dimulai dari daerah.

*) Penulis adalah santri Ponpes Nahdlatut Tholibin al-Islamiyyin Kebonharjo Jatirogo, peserta kelas menulis Al-Ittihad.

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Majalah Al-Ittihad © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top