Moch. Ilyas al-Musthofa *)

“Tugas utama seorang petani adalah bertani, tugas utama seorang pelajar adalah belajar, dan tugas utama seorang penulis adalah menulis”
(Bledeg Biru : 2012)

Menulis itu bagaimana kita menuangkan ide, perasaan atau pengamatan melalui sebuah tinta atau sejenisnya. Menulis itu, bukan bagaimana kita berfikir untuk bisa menulis. Namun, sesungguhnya menulis itu satu dari banyak tindakan jujur yang dilakukan oleh seseorang. Karena, menulis itu menuangkan apa yang ada dalam pikiran, perasaan atau pengamatan kita melalui coretan, dengan apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang.
Banyak orang yang sebelumnya sudah merasa inferior atau kurang percaya diri untuk mulai menulis. Padahal, untuk menulis kita hanya butuh membuat topik tulisan. Jika kita berpedoman pada filosofi ‘menulis adalah menuangakn suatu hal melalui coretan dengan apa adanya’, tentu semuanya akan berjalan jauh lebih mudah. Karena, tulisan ideal hanya lahir dari seorang penulis yang menuangkan suatu hal dengan apa adanya, bergantung apa yang sedang ia pikirkan, rasakan atau amati.
Memang benar  adanya, kunci sukses penulis adalah menulis. Penulis sering lahir bukan karena ulung pikiannya. Banyak penulis yang justru lahir karena kegemarannya menilai, merasakan atau mengamati apa yang ada di sekitar, sesuai sudut pandangnya. Andrea Hirata, salah seorang penulis yang cukup fenomenal saat ini, jika dicermati melahirkan banyak tulisan karena pengamatannya, bukan hasil ia ‘berpikir’. Novel Laskar pelangi yang booming sekitar tahun 2009 lalu adalah hasil dari perasaan dan pengamatannya sejak kecil pada proses hidup yang ia alami. Itu salah satu bukti, ia menulis dengan bercerita apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang.
Namun begitu, secara ideal ada beberapa hal yang perlu dimiliki oleh seorang yang bermimpi menjadi penulis sukses. Pertama, tanamkan pada mindset kita, bahwa menulis adalah panggilan hati, bukan sebuah tuntutan. Jika kita bisa menanamkan itu pada diri kita, maka menulis akan lebih tulus dan sangat ‘apa-adanya’. Sesuai dengan apa yang kita rasakan dan amati.
Menulis adalah panggilan hati, itu berarti setiap kita menulis akan selalu berangkat dari rasa cinta kita terhadap karya tulis, tanpa beban dan tanpa tuntutan. Bahkan, sekalipun itu menulis topik yang sangat sederhana. Karena, apapun itu bisa tergambar dari sebuah coretan.
Kedua, membaca tulisan orang lain. Seringkali seorang penulis terlalu sombong, hingga tiada karya yang ia baca selain karya dirinya sendiri. Padahal sangat mungkin itu keliru. Tulisan yang renyah dan indah, justru seringkali dihasilkan setelah penulis banyak membaca tulisan orang lain. Dengan melihat hasil tulisan orang lain, maka seorang penulis akan mampu memperkaya model atau varian tulisannya. Tentu, dengan kharakter tulisan yang sudah ada pada dirinya.
Namun begitu, perlu diingat setiap penulis memiliki kharakter yang masing-masing berbeda. Ada penulis yang cenderung suka pada model feature (Tulisan yang lebih banyak berdasarkan pandangan subyektif penulis). Namun ada juga penulis yang lebih suka menggunakan model straight (Menulis apa adanya atas hasil pengamatan suatu topik).
Ketiga, buatlah kerangka tulisan. Tulisan yang baik selalu runtut dan berkesinambungan antar satu bahasan dengan bahasan lainnya. Untuk membuat tulisan seperti itu, biasanya setiap penulis akan menentukan kerangka tulisan yang ditulisnya. Tujuannya adalah, agar antar satu bahasan dengan bahasan lain tidak terputus dan tetap terkait. Contoh sederhana adalah, ketika kita akan menulis satu topik sebanyak delapan paragrap. Maka, kita harus sudah menentukan apa isi dari setiap paragraf tersebut.
Langkah ini mungkin dianggap terlalu ribet dan kuno. Banyak penulis yang sudah jarang melakukannya. Namun, sesungguhnya membuat kerangka tulisan sebelum mulai menulis akan memudahkan penulis memahami gambaran umum tulisannya, sebelum benar-benar berwujud naskah.
Keempat, hindari bahasa kompleks. Tulisan yang baik sekalipun kadang akan sulit dipahami oleh pembaca, karena bahasanya terlampau kompleks. Banyak penulis yang terjebak dalam pemahaman subyektifnya. Penulis menganggap kompleksitas bahasa dalam tulisannya itu bisa dipahami dengan mudah oleh pembaca, seperti dirinya. Namun harus diingat, kita menulis bukan hanya untuk diri kita, namun juga untuk orang lain.
Sebuah tulisan yang menurut pandangan penulisnya itu indah, bernilai tinggi dan sensasional, akan menjadi sia-sia, karena tolak ukur bahasanya hanya dirinya. Padahal, belum tentu pembaca akan bisa memahmi model bahasa yang oleh penulisnya dianggap indah itu.
Kelima, buatlah sebuah kesimpulan. Tulisan apapun, akan menjadi ‘liar’ dan tak berujung jika tidak memiliki kesimpulan akhir. Muara dari sebuah tulisan adalah kesimpulan dari topik yang sedang ditulis. Jika sebuah tulisan tidak memiliki kesimpulan apapun, itu sama saja seperti membawa seseorang dalam perjalanan tanpa tujuan jelas. Perlu diingat, kesimpulan dalam tulisan akan memberikan pembaca kata kunci dan kesan mendalam tentang topik yang diangkat.
Kelima hal di atas bukan mutlak menjadi pengantar bagi seorang yang ingin menjadi penulis sukses. Namun, setidaknya dengan kelima hal itu, kita akan mulai melangkah menjadi seorang penulis sukses. Itu karena, kunci sukses penulis adalah bagaimana ia menulis, bukan bagaimana ia berpikir.

*) Penulis dan penikmat tulisan.













1 komentar Blogger 1 Facebook

 
Majalah Al-Ittihad © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top