KH. Fathcurrahman, Pengasuh Ponpes NTI Kebonharjo-Jatirogo (Foto :  Shoim)

Hafal Alfiah Sejak Usia 13 Tahun

Al-Ittihad, edisi 1 –  Bagi kalangan warga Nahdliyyin, tentu sudah tidak asing lagi dengan sosok KH Fathcurrahman. Pengasuh Pondok Pesantren Nahdatuth Tholibin Al-Islamiyyin (PP NTI) Kebonharjo ini, sudah sangat dikenal di kalangan Nahdliyyin lantaran kegigihan beliau dalam melakukan dakwah. Namun, belum banyak yang tahu perjalanan panjang kyai yang terkenal tawadhu’ ini, hingga akhirnya bisa menegakkan panji Islam, khususnya di bumi Ronggolawe, Tuban.
Kyai Fatchur lahir di Desa Kebonharjo Kabupaten Tuban sekitar tahun 1933. Saat itu, Tuban masih dalam penguasaan kolonial Belanda. Kyai Farchur kecil sudah mendapatkan ddikan keras tentang agama dari sang abah, KH Ridlwan. Bahkan, sangking khawatir pendidikan agamanya terbengkalai, KH Ridlwan melarang keras sang putra untuk ikut bersekolah di Sekolah Rakyat (SR-sebutan Sekolah Dasar zaman dulu).
Saat berbincang dengan reporter Al-Ittihad, Rabu (15/5) siang, kyai Fathcur menceritakan, meskipun sang abah melarang, beliau tetap ngotot secara sembunyi-sembunyi bersekolah di SR. Dalam pikiran beliau saat itu, adalah ingin mendapatkan ilmu umum, selain ilmu agama.
“Aku nyolong-nyolong melu SR, mergo pengen oleh ilmu umum. Lak ilmu agomo kan kan wes sinau karo bapak,” kenang belau berkaca-kaca.
Bahkan, untuk mengelabuhi sang abah, setiap akan berangkat ke SR, beliau tetap memakai sarung. Setelah sampai pada lokasi sekolah yang saat itu terletak di Jatirogo, dan berjarak sekitar dua kilo, barulah sarung dilepas dan digantikan dengan celana panjang. Pada akhirnya, kyai Fatchur tidak sampai menyelesaikan pendidikan di SR hingga lulus. Itu lantaran pada saat beliau menginjak kelas enam, Kyai Ridlwan memergokinya.
Aku gak sampai lulus. Lha wong pas kelas enem konangan karo bapak. Bapak yo duko, banjur aku kon mendek gak oleh sekolah maneh,” tutur kyai Fatchur menerawang.
Meskipun kyai Fathcur tetap bersekolah di SR selama hampir enam tahun, namun ilmu pesantren sama sekali tidak ditinggalkan. Buktinya, di bawah arahan sang abah, beliau sudah hafal nadhoman Alfiah pada saat umur 13 tahun.
Aku apal Alfiah yo umur 13 tahun. Seng nyemak yo bapak kui,” kata kyai Fatchur lagi.
Setelah ketahuan tetap ikut pendidikan SR, maka sang abah langsung membawa beliau ke Kajen, Pati untuk nyantri pada KH Thohir. Di sana, kyai Fatchur belajar di Madrasah Diniyyah Matholek. Karena rasa ingin tahu terhadap ilmu umum, setelah lulus dari madrasah Matholek, beliau kembali mencicipi pendidikan umum. Kali ini beliau bersekolah di Sekolah Menengah Islam (SMI).
Saat itu, sang abah juga tidak mengetahuinya. Namun belum sampia lulus, lagi-lagi sang abah, KH Ridlwan memergoki. Kontan saja, KH Ridlwan langsung membawa beliau ke Watucongol, Magelang. Di bawah asuhan KH. Thohir, secara total beliau nyantri selama tujuh tahun.
Bar konangan bapak sekolah neng SMI, langsung aku dijak neng Solo. Karepe bapak dikon nyantri neng gone KH Idris. Nanging, jalaran neng kono sistem pesantrene wes owah, bapak marakno aku neng Watucongol Magelang. Sinau karo mbah kyai Dalhar,” cerita beliau.
Pertama kali sowan kepada KH Dalhar, sang abah dipesani agar selepas di Watucongol mengarahkan KH Fathcur untuk nyantri ke Tegaldowo. Baru delapan bulan bulan berguru, KH Dalhar wafat. Maka, KH fathcur pun menjalankan pesan KH Dalhar untuk melanjutkan nyantri di Tegalrejo kepada KH. Chudori.
Nyantri lagi entuk wolong ulan mbah Dalhar kapundut. Banjur aku ngelanjutno neng Tegalrejo, koyok seng dipesenke mbah Dalhar naliko sugeng,” imbuh beliau.
Di Tegalrejo KH Fathcur nyantri selama kurang lebih delapan tahun. Bahkan. Karena pengetahuan agamanya dianggap sudah mumpuni, KH Fathcur sempat ditugasi menjadi menjadi seorang naib. Saat itu, sekitar tahun 1980-an, beliau ditugaskan di daerah Weleri, Kendal. Lagi-lagi, karena tidak setujunya abah, beliau harus melepas tugas menjadi naib.
Setelah delapan tahun menimba ilmu di Tegalrejo, KH Fathcur melanjutkan berpetualang nyantri di Sarang. Ma’hadil Ilmi As-Syar’iyyah (MIS), asuhan KH Imam bin Syuaib, menjadi pilihan beliau. Di sana, beliau nyantri selama empat setengah tahun untuk melengkapi ilmu agama yang sudah diperoleh sebelumnya.
Dadi neng Sarang kuwi aku mondok terakhir. Bar songko Kajen, Pati, Watucongol, Tegalrejo banjur Sarang. Bar kui aku kawin,” ungkap beliau.
Dari perjalanan panjang memperdalam ilmu agama itu, ada sebuah prinsip yang selalu terpegang dan hingga kini ditanamkan kepada santri beliau. Prinsip tersebut, sesuai dengan apa yanga da dalam Ta’limul Muta’alim, terkait dengan proses mencari ilmu yang harus merasakan kangelan (kesulitan), tirakat, mikir tenanan (belajar sunggh-sungguh), sue mangsane (lama waktunya) serta milih guru (Bisa memilih guru yang ‘alim).
Satu lagi sejak pertama kali nyantri, KH Fathcur selalu menempati gothaan yang sebelumnya ditempati oleh ulama’-ulama’ besar. Gothaan-gothaan itu antara lain bekas KH Achmad Jazuli Ustman, pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso Kediri. (Ma’sum/Wahab)
  

5 komentar Blogger 5 Facebook

  1. sesosok yang penuh dengan kewibawaan

    BalasHapus
  2. Mugiyo kasembadan menopo ingkang dipun cita2aken..Amiiin

    BalasHapus
  3. weh fotone Tonggoku melbu komputer

    BalasHapus
  4. The History of the Casino - One of the Most Popular Casinos
    A ventureberg.com/ relative newcomer to the world of online gambling, Wynn https://sol.edu.kg/ Las Vegas opened its doors to a 1xbet login new audience of over 600,000 in 2017. This was the mens titanium wedding bands first casino casinosites.one

    BalasHapus

 
Majalah Al-Ittihad © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top