Seperti biasa pagi ini, Menik – sapaan tenar Warti Sumenik -, menggosok pantofel tuanya menggunakan semir yang sedikit dibumbui dengan campuran remukan kayu areng dan air. Dengan dendangan khas perempuan, dia buat sepatu yang sudah lima tahun ini menjadi teman setianya ketika menjalankan tugas itu terlihat lebih mengkilap, sangar  dan tentu saja muda. Jarum jam sudah menunjukan angka 07.00 WIB, itu artinya lagi-lagi seperti hari sebelumnya dia tidak akan sempat menikmati sambal tempe penyet bakar racikan suaminya, Sutejo, untuk sarapan. Ya, biasanya jam 4 pagi gemerecak air sudah terdengar nyaring dari belakang rumahnya. Kali ini perempuan 31 tahun itu memang kembali bangun kesiangan, jam setengah enam matanya baru terbuka, itupun setelah bungsunya nangis minta telor ceplok. Sehingga hari ini dia tidak sempat mencuci pakaian kotor milik suami dan anak-anaknya. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi, suaminya yang sering beraktivitas terlebih dahulu, tidak pernah mau membangunkan sebelum dirinya benar-benar bangun sendiri, kecuali jarum jam sudah menunjukan angka setengah enam.

Begitulah keseharian Menik beberapa hari ini. Maklum, sebagai seorang wartawan perempuan salah satu koran terkemuka di kotanya, dirinya harus selalu berlomba dan membagi waktu agar program liputan yang sudah ia susun semalaman tidak berantakan karena gagal menemui nara sumber yang disasarnya, serta tanggung jawab sebagai seorang istri sekaligus ibu pun bisa tetap tertunaikan. Pagi ini, ia berencana melakukan sesi wawancara dengan pak Norman, seorang lurah sebuah desa yang rumornya hampir mayoritas warganya “berprofesi” sebagai penyamun. Begitulah yang sering mampir di telinganya mengenai desa pak Norman dari beberapa sumber terpercayanya. Aksi kekerasan, perampokan, pencurian, pencabulan  dan juga penjambretan yang belakangan kerap terjadi, konon pelakunya diduga berasal dari sebuah kelompok di desa pak Norman.

“Kok bisa ya profesi sebagai penyamun, apa benar. Kalau perempuan jadi wartawan sih biasa. Ah, aku tidak percaya jika tidak mengoreknya sendiri,” pikir Menik suatu hari sebelum akhirnya memutuskan untuk meliput di desa yang terkenal selektif terhadap orang luar dan masyarakatnya diduga juga kerap “doyan orang” itu.

Ya, beberapa bulan terakhir pihak keamanan di kota ini memang dibuat lebih sibuk dan kebakaran jenggot oleh ulah para penyamun yang nekat membikin geger masyarakat. Seolah ledekan bagi pihak kemanan, hampir setiap minggu terdengar berita perampokan, penjambretan bahkan pencabulan yang entah kebetulan atau tidak korbannya terindikasi sebagai pejabat wilayah itu. Mulai dari pak Tresno, kepala dinas yang harus rela lima emas batangannya raib saat rumah mewahnya ditinggal untuk menghadiri pesta hajatan seorang atasannya di sebuah hotel berbintang. Pak Kabur, yang seorang staf ahli dipaksa kehilangan Mercedes barunya ketika tengah santai sejenak berkaraoke di salah satu tempat hiburan malam. Belum lagi yang terbaru, rumah bu Susan, seorang wakil rakyat yang tengah melakukan kunjungan kerja keluar kota dengan menyertakan seluruh anggota keluarga, rumahnya disatroni kawanan perampok secara berjamaah. Akibatnya hampir semua barang berharga, mulai televisi jumbo, perhiasan, laptop, uang tunai dan bahkan beberapa potong pakaian dalam berbahan sutera pun dilaporkan juga raib digondol kawanan perampok. Bagi Menik, hal itu adalah aneh dan di luar kebiasaan. Pasalnya, sebelumnya kota yang sudah ia tinggali sejak kecil tersebut selalu aman dan terkendali, tanpa pernah ada kejadian “minim peradaban” itu.
“Kang, tolong ambilkan helm sama jaket di kamar sholat. Oh ya sekalian kartu pers tergantung di dinding sebelah komputer,” gembor Menik kepada suaminya sambil bergegas memancal stater manual motornya.
“Jaketnya dah seminggu belum dicuci dek, kemarin juga jatuh di lubang jalan berlumpur toh,” sahut Sutejo.
“Gak masalah, emang punyanya cuma itu,” jawab Menik sekenanya.
“Iya-iya sebentar, masa ga nyempatkan sarapan lagi toh dek? Dah beberapa hari ini lho, terus sambal ini buat siapa,“ balas Sutejo terdengar jutek.
“Dah siang kang, nanti malah gak ketemu sama pak Norman,” kilah Menik membela diri.
“Ah terserahlah, biar tak emplok sendiri sambal ini,” cetus Sutejo ketus sambil kembali ngeloyor ke dapur.

Mendengar suaminya kembali terserang virus jutek, Menik tak bergeming. Layaknya seorang lelaki, motor yang sudah menyala, ia permainkan gasnya untuk memanasi mesin. Sudah beberapa hari ini Menik dan Sutejo selalu terlibat perdebatan kecil mengenai hal-hal tidak biasa yang sering menghampiri mereka. Sutejo beranggapan peringai istrinya agak aneh dan berubah. Menik yang di mata Sutejo selalu bersifat santai, kalem, “nothing to lose” tetapi idealis akan setiap hal, kali ini memang terlihat beda. Perempuan yang dinikahinya delapan tahun silam itu sekarang lebih mudah uring-uringan, protektif akan setiap pendapat yang ia lontarkan serta yang paling aneh, sangat pragmatis. Karakter yang sebelumnya sama sekali tidak pernah melekat pada diri Menik, meskipun ia seorang perempuan.

“Apa karena akhir-akhir ini sering ngeliput perampokan ya,” pikirnya menerawang.
“Ah sudahlah yang terpenting tiap hari aku bisa berbagi tugas dengannya, ke pasar dan kadang masak, gitu aja kok repot,” hibur Sutejo dalam hati sambil melihat sang istri berlalu dengan motor buntutnya.

Begitulah kehidupan Menik dan Sutejo dalam kesehariannya. Menik yang seorang wartawan dan bertugas hampir setiap saat, harus bisa menunaikan dua tanggung-jawab yang sama-sama penting, sebagai pemburu berita dan juga istri serta ibu bagi anak-anak mereka. Sedangkan Sutejo, yang tiga tahun lebih tua dari Menik dan seorang guru ngaji serta pedagang tembakau di pasar pun harus legowo terkadang menyiapkan masakan dan mencuci pakaian atau mengajak si bungsu ikut berjualan. Hal itu mereka lakukan secara bergantian dan proporsional. Untungnya anak sulung mereka termasuk mandiri. Meskipun baru kelas 1 SD, ia sudah bisa menyiapkan segala kebutuhannya tanpa harus meminta bantuan berlebih kepada kedua orang tuanya. Semua itu mereka jalani dengan tanpa mempedulikan ke-kurang-laziman “bagi tugas” mereka di mata masyarakat pada umumnya. “Persetan dengan ke-kurang-laziman,” gumam Sutejo suatu hari.

******

“Pak bagaimana sebenarnya latar belakang masyarakat di sini kok sampai terdengar rumor kurang mengenakan di luar sana,?” tanya Menik kepada lurah Norman mengakhiri basa-basi.

Mendengar pertanyaan serius dari wartawan perempuan itu, pak Norman sedikit mengerutkan kening pertanda dia cukup berpikir keras untuk mengeluarkan sebuah jawaban. Tatapannya menerawang seolah ingin meminta jawaban dari sepoi angin pagi. Rokok kretek yang melekat di antara jemari tuanya kembali ia hisap dalam-dalam dan dihembuskan asap tebal dari mulutnya ke langit-langit kantor kelurahan yang masih berdinding papan itu.

“Begini mbak, saya sebagai lurah juga merasa dilematis menyikapi hal itu. Jujur kabar yang tersiar di luar sana, saya dan semua masyarakat pun juga sudah mendengarnya. Memang benar adanya, sudah sejak dulu, bahkan puluhan tahun yang lalu masyarakat di sini tergolong apatis dengan orang luar, keras dan mudah tersinggung, apalagi yang ada kaitannya dengan birokrasi. Bahkan sudah menjadi rahasia umum beberapa dedengkot bandit di kota ini memang berasal dari masyarakat sini.  Maklum mbak, banyak di antara mereka yang SD saja tidak sampai lulus, jadi otaknya rada kurang encer,” jawab lurah Norman hati-hati.

“Kalau kabar yang berkembang mengenai beberapa aksi di luar belakangan ini yang katanya ada kaitannya dengan masyarakat sini bagaimana pak,” tanya Menik lagi sedikit menyembunyikan penasaran.

“Ah, itu kan hanya rumor, masa anda juga percaya begitu saja dengan berita itu. Itu kan karena koran dan para pejabat yang mengait-ngaitkan agar kesalahan-kesalahan mereka bisa tertutupi dengan berita lain,” sanggah lurah Norman sedikit sinis.

Mendengar jawaban lurah yang mulai kurang bersahabat membuat Menik sedikit ciut nyali. Kembali terbayang dalam benaknya akan rumor karakter negatif mengenai masyarakat di situ seperti yang tadi ditegaskan oleh sang lurah.

“Anda yakin pak bahwa semua itu tidak benar, bukannya tadi anda sendiri yang mengatakan kalau ada beberapa dedengkot bandit yang memang masyarakat sini,?” lanjut Menik memberanikan diri menimpali sanggahan lurah.

“Sudahlah mbak, sudah banyak orang menelepon dan mengaku-ngaku dari media menanyakan hal yang selalu sama, hanya tentang karakter masyarakat di sini, tapi mereka tidak pernah berani datang langsung ke sini. Sebenarnya maunya apa toh, bukannya di sana juga banyak oknum pejabat yang koruptor, hedonis bahkan ada di antara mereka yang gemar berbuat asusila. Kenapa kok justru desa kami yang terus-terusan disorot. Begini saja, demi kebaikan bersama lebih baik mbak pulang dan anggap kita tidak pernah bertemu,” jelas lurah Norman sedikit tergetar emosi sambil meletakkan beberapa lembar ratusan ribu di atas kamera Menik yang tergeletak di meja.

Belum sempat Menik bereaksi, dari luar kantor kelurahan datang beberapa orang berpenampilan sangar setangah berlari mendekatinya dirinya.

“Heh kamu wartawan ya? Mau apa, mau motret aku, mau nyeret aku ke penjara? Dasar perempuan, mendingan di rumah ngulek sambel buat suami kamu. Kamu mau tahu siapa yang garong rumahnya Trisno, Kabur dan Susan, aku orangnya. Mau tahu alasannya, karena merekalah yang sebenarnya penyamun rakyat. Silahkan catat, tulis kalau ingin leher suamimu terlepas dari tubuhnya, biar kamu merasakan jadi perempuan tanpa suami,” hardik salah seorang di antara mereka yang ternyata adalah si Codet, dedengkot bandit nomer satu di kota ini.

******

Jarum jam sudah menunjukan angka satu malam, namun mata Menik belum juga terpejam. Ia masih terngiang perdebatan kecil yang baru saja dilakoninya bersama suami tentang hal yang menimpanya siang tadi. Juga bagaimana galaknya si Codet yang siap melepaskan leher suaminya.

“Kang,,,,” panggil Menik kepada suaminya yang terbaring di sebelahnya.
“Ada apa lagi dek, sudah malam ayo tidur, bukannya besuk pagi kamu harus liputan. Nanti malah gak sempat sarapan lagi,” sahut Sutejo sambil mengelus lembut rambut Menik.

Trenyuh hati Menik melihat kearifan hati suaminya. Ditempelkan pipinya di dada sang suami. Kembali teringat bagaimana suaminya memberikan motivasi dan mendorongnya untuk tetap berani saat ia menceritakan omongan lurah Norman dan raja bandit, si Codet.

“Kang, mulai besuk pagi aku mau berhenti jadi wartawan. Aku hanya ingin nulis artikel dan buku saja, biar tiap pagi bisa tetap nyuci baju dan siapkan sambal tempe penyet bakar buat kamu, karena aku istrimu kang,” bisik Menik lirih sambil mempererat pelukan dan kembali menempelkan pipi kirinya di atas dada sang suami.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Sutejo. Hanya balasan pelukan dari Sutejo yang Menik rasakan. Sejenak hanya terdengar nyanyian binatang malam yang bersahutan hingga akhirnya adzan subuh selesai berkumandang saat Sutejo sudah mendapati di meja makan terhidang secoek sambal tempe penyet bakar dan sewakul nasi liwet, juga tidak ketinggalan secangkir kopi luak kesukaannya.

“Hemm, Menik memang istriku,” gumam Sutejo dalam hati. 

Penulis : Abdul Ghofur

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Majalah Al-Ittihad © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top