Sudah hampir satu jam Karni mondar-mandir dan sesekali termangu di teras rumah reotnya yang hanya berdinding anyaman bambu serta masih beralas tanah itu. Senja sudah hampir menenggelamkan diri, namun belum ada tanda-tanda dirinya berniat untuk beranjak masuk ke dalam rumah. Rengekan kecil di gendongannya tidak begitu ia hiraukan. Dengan penuh kelembutan, kembali dinyanyikan dendang gending jawa untuk menghibur sang buah hati yang masih dua tahun itu. Entah karena menikmati atau jenuh menangis, akhirnya sang buah hati tertidur juga dalam peluknya.
Sore itu, seperti biasa dirinya bertekad untuk menunggu kedatangan suaminya, Karjo, yang sudah sejak pagi berkeliling entah kemana menjajakan keranjang anyaman bambu. Karni sedikit khawatir, karena biasanya jam 5 sore sang suami sudah datang. Namun kali ini perasaannya aneh, ia begitu menghawatirkan lelaki yang sudah 5 tahun ini membimbing dan memberikan nafkah, meskipun tidak seberapa. Maklum, beberapa hari ini kesehatan Karjo memang agak terganggu dan belum sempat diperiksakan ke mantri. Bukan karena alasan waktu, tetapi memang karena satu sen pun saat ini tidak mereka miliki.
Mata Karni agak berbinar saat samar-samar terdengar suara keranjang terguncang jalan, serta karet yang beradu dengan ban, itu berarti sandal suaminya sedang ditekan di atas ban roda, karena memang sepeda pancalnya tidak memiliki rem secara normal.
“Kang, kok baru pulang?,” tanya Karni renyah menyambut kedatangan Karjo.
“Iya, aku tadi muter-muter sampai desaseberang,” jawab karjo kalem tanpa ekspresi.
Melihat gelagat itu, Karni sudah paham pasti, dagangan suaminya hari itu lagi-lagi tidak laku. Trenyuh juga hatinya, hingga tak terasa menetes butiran bening dari mata sayunya. Bukan karena masih utuhnya dagangan Karjo yang Karni tangisi, melainkan betapa gigihnya sang suami berusaha mencari nafkah buat dirinya dan putra semata-wayang mereka, Kencana.
Kalau sudah begitu, pikirannya langsung melayang tentang esok hari. Apa lagi yang akan ia masak buat suami dan anaknya, atau ubi siapa lagi yang akan dicabut paksa oleh sang suami untuk mengganti beras yang sudah satu bulan ini tidak terisi di daringan. Semua itu menjadi satu, menyesakan dadanya yang datar, karena memang perutnya lebih sering hanya terisi singkong rebus atau tiwul.
Ketika keadaan itu ia keluhkan pada Karjo, selalu saja dengan penuh sabar dan ketabahan wejangan yang ia dapatkan, orang yang berpuasa, jika telah datang waktunya pasti akan berbuka. Entah kapan waktu itu datang, yang jelas Karni ingin segera menikmati bersama keluarga kecilnya.
“Ayo kang masuk sudah azdan magrib, kasian anak kita dari tadi digigiti nyamuk,” ajak Karni sambil menggandeng lembut tangan karjo.
“Iya, tidurkan Kencana dulu dan tunggu aku mandi, kita sholat jamaah,” sahut Karjo sambil menenteng dua keranjang bambu dari sepeda.
“Ya Allah ya tuhan kami, limpahkanlah rahmatmu agar kami bisa merasakan nikmat yang engkau berikan selama ini. Datangkanlah ridhomu dan ridhonya atas kedzaliman yang selama ini kami lakukan. Limpahkanlah ketabahan agar kami senantiasa tidak pernah mengeluh dan berpaling darimu. Dan berikanlah kenikmatan rizki seperti nikmatnya berbukanya orang yang sudah seharian berpuasa”, begitulah doa yang selalu Karjo panjatkan bersama Karni malam itu, seperti malam-malam sebelumnya.
******
Azdan subuh baru saja selesai berkumandang, namun Karjo sudah beranjak mantap menyusuri jalan setapak di belakang rumahnya. Di pagi buta ini, ia berniat untuk mencabut beberapa batang singkong milik haji Darsun, lurah kaya raya yang kabarnya gemar memperjual-belikan tanah milik desa itu. Dua hari lalu singkong bayan Kirno yang sudah ia cicipi, dan kali ini ia ingin mencari sasaran lain.
“Ya Allah ampunilah apa yang selalu hambamu perbuat ini,” gumam Karjo sambil terus berjalan menuju kebun singkong haji Darsun.
“Lebih baik makan singkong curian, dari pada anak istriku kelaparan,” pikirnya lagi.
Dalam benaknya hanya terngiang satu hal, yaitu bayangan istri dan anaknya yang akan kelaparan jika dirinya tidak encabut singkong milik tetangganya. Sesungguhnya betapa ia ingin membuat keduanya bahagia, tentram, kenyang dengan kekenyalan beras rojo lele serta gurihnya brengkes pindang bakar. Apalah daya, hanya membuat keranjang dari anyaman bambu yang bisa ia lakukan, dan sudah satu bulan ini keranjang bambunya tidak pernah laku, meskipun dijajakan kemana-mana.
Selama itulah, kebun singkong milik para tetangga selalu menjadi sasaran. Secara bergilir, ia jadwal, kebun milik siapa yang akan menjadi targetnya setiap dua hari sekali. Ia tidak begitu mempedulikan sudah banyak warga di desanya merasa kabur dan sewot karena sangat seringnya tanaman singkong milik mereka hilang. Mereka begitu penasaran dan geram ingin menangkap dan memberi pelajaran kepada si pelaku, siapapun itu.
“Aku harus buat perut istri dan anakku selalu terisi, meskipun hanya dengan singkong rebus,” pikir Karjo dalam hati.
“Krak,” kembali Karjo mencabut singkong milik haji Darsun.
Ia begitu sumringah ketika mengetahui pohon singkong keempat yang ia cabut itu berisi delapan buah ukuran besar.
“Cukuplah ini untuk empat hari,” batinnya.
Ia kumpulkan singkong-singkong yang sudah dicabutnya untuk dibawa pulang. Tidak terbayang betapa tenang istrinya melihat hasil buruannya kali ini.
Belum sempat ia mengangkat singkong-singkong itu, tiba-tiba dari balik rerimbunan muncul beberapa orang menenteng pentungan dan berteriak, “maling, maling. Maling singkongnya ketemu”.
Sejurus kemudian, datanglah belasan warga lainn yang ternyata pagi itu sudah mengantisipasi kedatangan sang pencabut singkong yang ternyata adalah Karjo, lelaki melarat yang selalu berusaha menunaikan tanggung-jawabnya sebagai suami dan bapak, meskipun dengan jalan yang tidak benar.
Oh ternyata kamu toh Karjo, sudah melarat doyan nyolong. Dasar munafik, tiap hari sembayang masih saja ngembat singkong orang,” hardik haji Darsun yang ternyata ada di antara gerombolan warga.
“Hajar, habisi biar kapok,” perintahnya kepada belasan warga yang seolah tidak sabar memberi pelajaran Karjo.
Tanpa dikomando, Karjo menjadi sansak hidup gerombolan warga yang sudah terlanjur geram dengan ulahnya menggilir singkong milik mereka. Tanpa ampun pentungan, batu dan senjata yang dibawa oleh warga mampir ke semua bagian tubuh Karjo. Hingga akhirnya ia benar-benar tak berdaya, tergolek tak bergerak di bawah kaki-kaki kekar sang pemilik singkong. Untungnya beberapa di antara mereka masih
berbaik hati, mengantarkan Karjo yang sekarat ke rumah reotnya.
******
Tepat saat sang fajar beranjak, Karni dikejutkan oleh suara gaduh di luar rumah. Dengan menggendong Kencana yang sudah terbangun, ia tergopoh membuka pintu. Betapa terkejutnya Karni, tepat di depan pintu tergolek suaminya, Karjo, sudah tak bergerak setelah menjadi bulan-bulanan warga.
Tetapi entah kenapa, tidak sedikitpun air mata Karni menetes. Justru ia tersenyum lembut, mengelus wajah suaminya yang masih terbekas darah kering, akibat liarnya pentungan warga. Dengan iringan rengekan Kencana, Ia kecup lembut kening dingin Karjo. Ia peluk dalam-dalam tubuh kaku suaminya itu. Terngiang dalam benaknya, pesan Karjo agar mereka harus menjadikan sang anak, Kencana, suatu saat bisa hidup lebih baik, setidaknya tidak makan singkong rebus.
Seketika ia teringat perkataan suaminya setiap dirinya mengeluh, bahwa orang yang berpuasa suatu saat nanti pasti akan berbuka, meskipun entah kapan.
“Suamiku yang tanggung jawab, berbukalah engkau dengan sesukamu karena waktu berbuka bagimu kini telah datang,” bisik Karni lirih sambil mengatupkan kedua mata Karjo yang masih terbuka itu.
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar