Oleh : Ismawati *)


   Sudah hampir dua jam rintik gerimis belum juga berhenti. Suara kilat dan pepohonan yang terterpa angin seolah membawa pesan duka bagi seseorang. Tak ada satupun celoteh dari anak-anak kampung yang biasanya selalu hadir menjelang senja. Kecuali Legi, yang justru terlibat percakapan panjang dengan Kliwon, suaminya. Sore itu, masa depan Lasmini menjadi judul bahasan. Dalam hati, mereka berharap, Lasmini tidak mengikuti jejak orang tuanya yang miskin tak berdaya dan sudah biasa mendapatkan hinaan dari orang lain. Karena keadaan ekonomi yang serba kekurangan, Kliwon pun bingung. Hingga akhirnya kembali terjadi perdebatan antara mereka berdua, seperti hari-hari sebelumnya.
Itulah yang sering terjadi antara Kliwon dan Legi. Sepasang suami istri yang hidup tak berdaya di sebuah rumah reot berdinding bambu. Penderitaan Kliwon dan Legi seolah bertambah karena Lasmini, anak semata wayang mereka, begitu malu dan gengsi dengan keadaan sang orang tua. Namun begitu, Kliwon dan Legi tetap sabar dan tabah menjalani pahitnya kehidupan.
“Pak, kita ini  memang miskin, tidak punya apa-apa. Namun pak, masa depan Lasmini tetap menjadi tanggung jawab kita. Dia satu-satunya anak kita pak, ingat itu,” ceplos Legi meyakinkan suaminya.
”Mbok, aku tahu. Tapi kita ini memang miskin, tidak mampu. Bahkan sudah biasa dihina orang. Makan saja hanya nasi jagung. Mana bisa kita melanjutkan sekolahnya Lasmini mbok,” sahut Kliwon dengan nada tinggi.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam, termenung dengan segala ketidak-berdayaan. Nyaring celoteh cicak di dinding  rumah reot itu, seolah memberikan ledekan kemiskinan Kliwon dan Legi.
“Pokoknya, Lasmini harus kerja di kota, agar kebutuhan kita bisa terbantu  mbok,” tiba-tiba Kliwon bersuara.
“Nggak pak, enggak. Aku ingin Lasmini kita kirim ke pesantren saja. Kata pak Jono, di kampung sebelah ada pesanten gratis, tidak memungut biaya sepeser pun. Apalagi, di sana juga ada sekolahnya pak,” lantang suara Legi membantah suaminya.
   Suasana kembali hening. Kliwon dan Legi seolah menghadapi kebimbangan luar biasa. Antara menyuruh Lasmini kerja di kota, atau mengirimnya ke pesantren, belajar ilmu agama.
Saat Kliwon dan Legi asyik menikmati kebimbangan, tiba-tiba Lasmini datang. Seperti biasa, sore itu ia habis nongkrong dengan teman-teman kampungnya yang memang terkenal urakan itu. Tanpa menghiraukan kedua orang tuanya yang duduk termenung, ia begitu saja melangkah dengan berdendang kecil, khas anak baru gede.
”Nduk, sini sebentar. Mbok mau ngomong,” panggil Legi lembut kepada Lasmini.
”Ah,,,ada apa toh mbok, mbok. Aku ini capek, mau tidur. Gak usahlah tanya ini, tanya itu, pegel aku mbok hidup seperti ini terus,” bentak Lasmini kepada Legi.
Jengah melihat sikap anaknya, Kliwon pun tidak srantan. Tangan tuanya ia layangkan tepat mengenai pipi kiri Lasmini. Seumur-umur, baru kali ini Kliwon berlaku keras terhadap anak semata wayangnya itu. Hingga tanpa sadar butiran Kristal menetes dari kelopak mata yang mulai berkeriput.
”Sekarang bapak kasih kamu dua pilihan Lasmini. Kerja di kota, dapat duit banyak, bisa makan enak, atau mondok di pesantren, kolot, dan tidak boleh keluar kemana-mana. Pilih mana?,” ucap Kliwon dengan suara bergetar.
Dari dulu Lasmini memang keras kepala, egois pula. Sama sekali tidak tebersit dalam pikirannya untuk menuruti setiap perintah orang tua yang telah membesarkannya itu.Tidak ada kata bekerja apalagi nyantri dalam kamus hidupnya. Padahal, dengan kondisi keluarganya yang serba terbatas, mustahil ia bisa merengkuh kebahagian di masa mendatang.

******

   Pada kampung kecil nan sepi di wilayah kota Ronggolawe Tuban, berdiri sebuah pesantren salaf yang sudah cukup lama tekenal. Seperti kebanyakan pesantren lain, disana diajarkan berbagai nilai kehidupan, dengan Al-Qur’an sebagai pedoman, dan Sunah Nabi sebagai tuntunan. Satu hal yang membuat pesantren itu mudah dikenal, yaitu sebuah pohon kelapa bercabang delapan tumbuh subur di halaman belakang asrama santri. Di pesantren itulah, Kliwon dan Legi berencana memondokkan Lasmini.
   Pagi itu, matahari belum begitu tulus bersinar, ketika Kliwon, Legi dan Lasmini sudah menginjakkan kaki di halaman sebuah pesantren.  Setelah untuk beberapa lama terpaku melihat kondisi fisik pesantren, mereka pun beranjak menuju kediaman kyai. Semua yang menjadi harapan Kliwon dan istrinya mengenai Lasmini disampaikan kepada kyai.
Mendengar penjelasan panjang lebar dari Kliwon dan Legi, sang kyai pun terharu dan dengan senang hati menerima Lasmini sebagai santri barunya. Entah kenapa, tatapan mata sang kyai begitu dalam menyorot wajah Lasmini. Hingga akhirnya terucap kata lirih namun jelas terdengar di telingan Kliwon dan Legi, “Suatu saat nanti, anakmu akan menjadi orang besar, insya Allah,”.
Sejak itulah, Lasmini menyandang status baru, sebagai seorang santri. Sebuah hal yang tidak pernah terbayang dalam hidupnya. Baginya, pesantren adalah penjara yang membatasi kebebasan seseorang. Hidup di pesantren ibarat burung yang terkungkung dalam sebuah sangkar, tidak bisa mengepakkan sayap, menjelajah setiap sudut fana duniawi.

******

Seperti biasa, ratusan santri berkumpul di aula bersiap mengikuti pengajian. Mereka antusias nderes isi kitab yang pada hari sebelumnya telah dituturkan oleh sang kyai. Namun, tidak dengan  Lasmini, yang justru bingung dan hanya menatap kosong, menyapa setiap sudut ruang aula tua itu. Lasmini memang belum pernah mengenal pesantren. Masih melekat betul dalam pikirannya, pesanren itu kolot, jorok, membatasi kebebasan dan tentu saja kuno. Hidup di pesanren hanya langkah bodoh dan mensia-siakan dunia.
Sebelum kyai datang, suasana aula begitu ramai dan panas. Apalagi, terjadi perdebatan kecil antara Badrun, seorang santri senior di pesantren itu, dengan Ariel, santri yang terkenal pandai dan kalem itu. Tiba-tiba Badrun dan kelompoknya terdiam ketika tanpa sengaja melihat dari balik satir, sosok Lasmini, yang tengah duduk, termenung sendiri di pojok aula.
’’Eh brow itu bukannya santri yang ada di dalem  kyai tadi,’’ Tanya Badrun kepada santri lainnya.
“Iya Bro betul. Memang kenapa???,” sahut Sholeh.
Belum sempat Badrun menjawab tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kyai menuju aula. Itu artinya semua santri harus sudah menempati posisi masing-masing, bersiap menerima siraman rohani dari kyai.
Suasana yang begitu ramai itu mendadak menjadi hening, ketika kyai datang dengan menenteng sebuah kitab tebal. Sudah menjadi kebiasaan sang kyai, menggunakan sandal gapyak setiap akan mengajar. Hal itu membuat para santri akan sangat hafal, saat kyai datang dari ndalem menuju aula.  
Satu jam berlalu, akhirnya pengajian pun usai. Para santri kembali ke asrama kecuali Badrun dan kelompoknya, yang justru cangkruk di bawah kelapa bercabang sambil ngobrol ngalor-ngidul.
“Eh, bener ya brow, apa yang dikatakan mbah yai tadi, paling sulit jadi orang bersyukur,”ujar Badrun.
”Bener, Drun. Memang paling sulit itu jadi orang bersyukur. Bukan hanya orang besar saja, orang kecil pun sering tanpa sadar kufur atas kenikmatan yang sudah diberikan Allah.”sambung Kabul.
By the way, tentang santri baru itu bagaimana friend’s ???,” tanya Badrun tiba-tiba.
Tanpa disangka rasa penasaran Badrun tentang Lasmini, santri yang baru datang beberapa hari lalu itu kembali muncul.
”Sebenarnya menarik brow. Tapi, kayaknya galak, judes.,Repot kalau punya istri kayak gitu. Mau minta kopi, eh,,,bisa-bisa malah diomelin. Gulanya mepet mas,,,harga kopi naik, blue gas mahal.  Kaga selera ah gua,”sahut Sholeh dengan gaya khasnya, celelean.
“Belum lagi kalau sudah nekuk jari. Gincunya habis mas, bedaknya sudah koretan mas, uang belanja menipis mas, dah lima hari gak keramas mas, samponya dah bablas. Sepertinya bukan selera gua tuh,” imbuh Sholeh sambil nekuk jarinya, mempraktikkan gaya khas kyai Anwar Zahid.
Kontan jawaban panjang Sholeh membuat teman-temannya tertawa ngakak. Di mata temannya, Sholeh menag paling jago mencairkan suasana. Itulah yang membuat setiap mereka berkumpul selalu diiringi suasana renyah dan tidak menjemukan.
Tiba-tiba obrolan berhenti saat Ariel lewat di hadapan mereka. Badrun cs memang selalu usil dan menggoda dimanapun Ariel berada. Hingga kembali terbersit niat Badrun untuk kembali mengusili Ariel. Melihat kebiasaan Badrun, Ariel tak bergeming. Dengan langkah santai ia tetap berjalan membawa kitab yang baru saja diajarkan oleh kyai tadi. Langkah Ariel baru terhenti saat, Badrun dan Sholeh berdiri tepat di depannya.
”Woi, Riel. Gimana nich kabar si Luna ,”goda Badrun cengengesan.
”Denger-denger, setelah katam Alfiah nanti mau kamu lamar ya,” tambah Sholeh dan diikuti oleh gelak tawa teman-temannya.
Mereka menggoda Ariel habis-habisan,. Ariel tetap diam dan tertunduk mendapati perlakuan itu. Namun, karena terus-menerus digoda, kesabarannya pun runtuh juga. Akhirnya terjadi keributan kecil tepat di bawah kelapa bercabang.
Keributan baru berhenti, saat Dhorib, santri sepuh yang bertugas mengurusi keamanan pesantren datang.
”Kalian lagi, kalian lagi. Apa gak bosan tiap hari kerjaannya berantem  terus. Sesama santri itu tidak boleh  berantem, mengerti,” tutur Dhorib berwibawa.
Badrun cs dan Ariel pun tertunduk, menerima nasehat dari Dhorib. Mereka saling meminta maaf dan akhirnya sadar bahwa apa yang dikatakan Dhorib itu benar. Santri itu didik bukan untuk menjadi jagoan, tetapi agar berakhlakul kharimah. Menyembah yang esa, menghormati yang tua, menghargai yang muda dan mengasihi sesama.

******

Hari demi hari berlalu,  tahun pun telah berganti. Nan jauh disana, Kliwon dan Legi tiba-tiba teringat anak semata wayang mereka, Lasmini, yang kini tinggal di pesantren. Sudah hampir tiga tahun ini, Lasmini nyantri, namun Kliwon dan Legi sama sekali tidak menjenguknya. Entah mengapa. malam yang begitu dingin itu justru mengingatkan mereka akan sosok Lasmini..
”Pak, kira-kira bagaimana  keadaan Lasmini disana, sudah tiga tahun kita tidak sowan dan jenguk di pesantren. Apalagi, kita juga sama seklai tidak pernah mengiriminya uang pak,” keluh Bu Legi.
”Sudahlah mbok, jangan terlalu memikirkan Lasmini, dia sudah dewasa. Lagi pula ada kyai yang ngurus,” kata Kliwon sedikit menyembunyikan kegelisahan.
Dalam hati, ia membenarkan ungkapan sang istri. Begitu lemah dirinya, hingga sekedar menjenguk Lasmini pun tidak mampu dilakukannya. Memang begitulah keadaan Kliwon, untuk makan saja dirinya harus bekerja seharian menjadi buruh sawah, itupun jika ada yang memerintahnya.
Menghadapi kenyataan itu, Kliwon hanya bisa pasrah. Terlihat jelas ia juga sedang berpikir betul bagaiman bisa menjenguk Lasmini. Tanpa sadar ia pun mondar-mandir tidak jelas. Untuk beberapa lama, Kliwon dan Legi terhanyut dengan pikiran masing-masing. Detak jam dinding pemberian haji Aziz yang baru saja pulang haji dua minggu lalu itu, seolah memberikan irama atas kesedihan mereka.
Mereka baru tersadar saat tiba-tiba datang Lurah Klowor dengan gaya khasnya, congak dan kasar. Kliwon dan Legi sudah mafhum akan niat Lurah Klowor, pasti tidak lain adalah menagih hutang mereka yang sudah menumpuk dan lama tidak diangsur. Maklum, sebagai buruh sawah, Kliwon hanya bisa mendapatkan Rp15.000,-, itupun tidak setiap hari.
’’Kliwon, apa maksudmu sudah setahun ini tidak membayar hutang. Apa kamu sudah lupa hutangmu,’’ hardik Lurah Klowor sangar.
 “Begini lurah klowor, kami masih belum punya uang, Lasmini yang di pesantren saja tidak pernah mendapat kiriman dari kami, apalagi untuk membayar hutang,’’ jawab Legi terdengar ciut nyali.
 “Betul pak lurah. Kami memang belum memiliki uang lebih untuk membayar hutang,” imbuh Kliwon merendah.
“Kamu tahu tidak, jika ditotal sama bunganya, hutangmu sudah menumpuk menjadi Rp15 juta. Paham Kliwon?,” sahut lurah Klowor marah.
“Begini saja. Hutangmu tak anggap lunas sekalian bunganya. Tapi syaratnya satu, Lasmini biar tak kawin, jadi istri keempatku. Bagaimana Kliwon dan Legi?,” imbuh lurah Klowor sedikit melunak berusaha memberi penawaran pada Kliwon dan Legi.
Mendengar tawaran itu, sontak Legi tercengang. Rasa bimbang dan bingung penuh sesak menumpuk dalam pikirannya.  Sesungghnya dalam hati sangat tidak rela menjadikan Lasmini yang masih belia dan sedang menuntut ilmu di pesantren itu, sebagai tebusan hutangnya kepada lurah Klowor. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum di kampung, jika lurah Klowor memang mata keranjang dan selalu mengincar anak gadis orang-orang yang terjerat hutang kepadanya.
Di tengah kebimbangan Legi, tiba-tiba suaminya, Kliwon mengeluarkan jawaban yang baginya seperti petir di siang bolong. Kliwon tanpa diduga menyetujui tawaran lurah Klowor.
“Saya izinkan jenengan menikahi Lasmini. Namun, hutangku benar-benar dianggap lunas. Satu lagi,  rumahku yang reot ini harus jenengan bangun lurah Klowor,” kata Kliwon gelap mata.
Kliwon dari dulu memang tidak pernah berubah, masih saja mata duwitan dan cetek pikiran. Lasmini anaknya yang saat ini tengah menimba ilmu agama di pesantren begitu saja ia serahkan kepada lurah Klowor. Berbeda dengan Legi yang selalu berharap anaknya bisa menjadi wanita solehah dan bisa mendoakan orang tuanya. Meskipun dalam keadaan apapun
Legi tidak bisa berbuat banyak. Mau tidak mau ia pun harus menuruti langkah suaminya yang menerima tawaran lurah Klowor. Sebuah pilihan yang sangat sulit. Apalagi lurah Klowor sempat mengeluarkan ancaman akan membawa suaminya ke meja hijau, jika tidak mampu melunasi hutang.

******

Keesokan harinya, saat semua santri baru saja selesai ngaji Tafsir Jalalain dengan kyai, sebuah sedan mewah kinyis-kinyis sudah terparkir di halaman pesantren tempat Lasmini menimba ilmu. Lurah Klowor sengaja membawa mobil terbarunya itu, dengan harapan Lasmini tertarik dan bersedia menuruti permintaan orang tuanya nanti. Untuk menikah dengannya, sebagai istri keempat.
Setelah bertemu dengan kyai, Kliwon menjelaskan panjang lebar perihal rencananya terhadap Lasmini. Juga tentang banyaknya hutang mereka, sehingga karena lama tidak diangsur, bunganya pun makin menumpuk.
 “Luna..,,,tolong kamu panggil Lasmini kesini, bapak lan ibunya datang,” tutur Kyai kepada seorang pengurus putri.
Bergegas Luna menuju kamar Lasmini memberikan kabar yang sepertinya sudah lama ditunggu Lasmini itu, dijenguk oleh orang tuanya.
“Lasmini… Lasmini… orang tuamu datang menjenguk,” kata Luna kepada Lasmini seolah ikut gembira.
“Oh ya, dimana mereka?” tanya Lasmini.
“Itu di ndalem, sedang ditemui mbah yai,” sambung Luna.
“Ah nggak percaya, mana mungkin mereka ingat denganku?. Mereka sudah tidak mengganggap aku sebagai anaknya, kamu tahu sendiri kan, aku tidak pernah dijenguk,” bantah Lasmini.
Namun sebagai seorang anak, naluri Lasmini tidak bisa berbohong. Perasaan haru dan senang campur aduk di dadanya. Rasa rindu yang sudah terpendam selama tiga tahun itu akhirnya akan segera tertuntaskan. Tanpa disadari, menetes air matanya, air mata seorang bidadari.
Luna berusaha meyakinkan sahabatnya itu, dengan keibuan ia mengelus lembut kepala Lasmini. Selama ini, Luna memang menjadi curahan hati Lasmini. Mulai saat Lasmini menganggap pesantren kolot dan ketinggalan jaman, hingga akhirnya ia benar-benar bisa merasakan kedamaian hidup di pesantren. Terdekap begitu teduh dalam rindang kelapa bercabang.
“Mana ada Lasmini, orang tua yang tidak sayang pada anaknya. Hanya kondisi orang tuamu yang membuat mereka begitu lama ttidak menjengukmu,” ucap Luna berusaha meluluhkan hati Lasmini.
“Kamu nggak boleh gitu Lasmini, mereka itu datang jauh-jauh untuk nyambangi sampean. Mereka kangen sama kamu Las, apa kamu tidak ingat apa yang dikatakan kyai. Allah memerintah manusia untuk selalu berikhtiar dan bertawakkal dalam menghadapi setiap cobaan. Dulu aku juga pernah mengalami semua itu, hidup itu penuh perjuangan Las,” jelas Luna panjang lebar meyakinkan sahabatnya itu.
Rasa rindu Lasmini akan orang tuanya memang sudah menggebu. Ia masih memendam rasa kecewaa kepada mereka, karena sudah selama 3 tahun ini tidak pernah dijenguk. Namun, ia sadar keterbatasan ekonomi membuat orang tuanya tidak bisa menjenguknya, seperti yang dilakukan oleh orang tua santri lainnya.
Mbok, bapak, kenapa kok baru nyambangi Lasmini,?” ungkap Lasmini sambil memeluk erat mboknya sambil menangis tersedu.
Trenyuh hati Legi mendapat pertanyaan dari putri kesayangannya itu. Ia pun membalas pelukan Lasmini. Tangisan Legi semkain tak terbendung saat tersadar niat utama menjenguk Lasmini.
“Begini Lasmini, kedatangan orang tuamu ini, yang pertama adalah silaturrahim. Sedangkan maksud lainnya adalah, sekalian mengajak kamu boyong. Mereka berniat menikahkan kamu Lurah Klowor. Sekarang, semuanya tergantung kamu?,’’ tutur kyai memecah suasana haru Lasmini dan Legi.
Mendengar itu, pipi Lasmini seperti mendapatkan tamparan keras. Tidak pernah teringias dalam pikirannya harus menikah dalam usia yang relatif muda, 18 tahun. Belum lagi, lurah Klowor yang akan menikahinya itu, sudah beristri tiga.
Lasmini benar-benar tercengang. Di saat jiwanya telah luluh oleh mutiara indah pesantren, kini justru sebuah kenyataan pahit siap menerkamnya. Terbersit dalam pikirannya untuk memberanikan diri menolak permintaan sang orang tua.
’’Ngapunten kyai, saya masih ingin tholabul ‘ilmi di pesantren ini. Rasanya belum cukup ilmu yang telah saya pahami disini,‘’ ungkap Lasmini berusaha tetap tenang.
”Las, kami terpaksa menerima tawaran lurah Klowor untuk menjadikanmu sebagai istrinya. Hutang bapak begitu banyak kepadanya Lasmini, hingga sepertinya tidak mungkin untuk bisa membayarnya lunas. Satu-satunya jalan ialah menerima tawaran lurah Klowor,” jelas Legi kepada anaknya.
“Betul Lasmini, bapak tidak ada pilihan lain,” imbuh Kliwon datar.
Hati Lasmini tetap berontak, tidak menerima rencana bapak dan mboknya itu. Sempat terjadi perdebatan kecil antara kyai dan Lurah Klowor yang sebelumnya hanya terdiam. Kyai berusaha merubah niat lurah Klowor agar tidak jadi menikahi Lasmini. namun, begitulah lurah Klowor, jika sudah memiliki keinginan sulit untuk ditepis.
Dengan pertimbangan panjang, dan juga melihat ketulusan niat Lasmini, sang kyai pun tergerak hatinya. Hutang Kliwon dan Legi sebesar Rp15 juta kepada Lurah Klowor akhirnya ia lunasi. Meskipun uang itu diambilkan dari hasil panen yang semestinya untuk makan sehari-hari santri. Kyai yakin, Allah Maha Kaya, dan sudah mengatur segala rizki untuk umatnya. Semua itu untuk Lasmini, santri miskin yang baru saja menemukan tetesan hidayah.
Melihat kenyataan itu, rasa dongkol dan kesal menyatu dalam hati lurah Klowor. Untuk menutupi kekecewannya itu, ia memberikan deadline kepada kyai untuk bisa melunasi hutang Kliwon hingga satu minggu ke depan. Ia pun ngeloyor pamit lebih dulu untuk pulang, tentu dengan memendam rasa kecewa mendalam.
”Terima kasih banyak mbah yai, kami berhutang budi sama panjenengan. Kami janji, suatu saat akan mengembalikannya, semampu kami,” ungkap Kliwon terharu.
Perbincangan pun berlanjut antara Kyai, Kliwon, Legi serta Lasmini. Suasana benar-benar cair, saat kyai menceritakan perkembangan Lasmini selama menjadi santri kepada Kliwon. Hingga akhirnya, tanpa terasa waktu sudah beranjak siang. Kliwon dan Legi pun bersiap pamit, kembali memasrahkan Lasmini kepada sang kyai.

******

   Suatu malam yang terhias gerimis, Lasmini tiba-tiba terbangun dari tidur. Jarum jam masih terpaku di angka tiga, dan ia tersadar harus bermunajat kepada sang Rabbi. Mungkin, malaikat terlalu sayang kepadanya, hingga tak tega membiarkannya tidur sebelum menuntaskan sunah nabi, layaknya seorang muslimah sejati.
Di tengah malam yang masih menderu itu, Lasmini mencoba melangkahkan kaki kaku dan ngilunya menuju tempat wudlu. Setelah sholat tahhajud, malam yang penuh dengan pancaran sinar bintang itu membawanya pada rasa penyesalan mendalam. Dalam sebuah do’anya terlantun kata taubat, dan seketika itu juga ia tak mampu membendung air mata, bagaikan rintikan air hujan yang menetesi pada bumi gersang.

Ya Allah ya Karim……..
Begitu keras hati ini, hingga lantunan indah mutiara sulit menembusnya.
Begitu tuli telinga ini, hingga firmanmu tak bisa kudengar
Begitu buta mata ini, hingga tak bisa melihat keindahan wujudmu
Dan begitu bisu mulut ini, hingga tidak pernah tergerak untuk memujamu
Aku  terendam dalam lumut dosa

Ya Allah ya Robbi……
Maafkanlah aku yang telah lalai
Mengingkari amanah-Mu
Mendustai perintah-Mu
Terpesona oleh fana duniawi

Ya Allah Ya Rahim…….      
Berilah sedikit saja tetes hidayah
Agar aku tersadar, tersentak dan terbangun
Meninggalkan ketidak-berdayaan

Ya Allah Ya Qoyyum
Sudilah kiranya engkau melapangkan niat suciku
Bebaskan jiwa ini dari belenggu kenikmatan semu
Dalam sisa nafas, akan kuraih jalan
Menuju Ridho-Mu

******

Empat tahun kemudian

Setelah lulus Madrasah Aliyyah, Lasmini meraih beasiswa dan melanjutkan pendidikan pada sebuah Universitas terkemuka, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.  Seperti impiannya saat hidup di pesantren, ia berhasil belajar pada Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam.
Empat tahun setelah itu, hari yang ditunggu Lasmini pun tiba, dimana dia akan diwisuda bersama 435 mahasiswa lainnya. Kedua orang tuanya, Kliwon dan Legi begitu bangga atas pencapaian Lasmini yang sebelumnya tidak pernah membayangkan memakai toga. Terlebih, Lasmini meraih predikat cumlaud dan dikukuhkan sebagai wisudawati terbaik pada angkatan wisudanya.
Sebuah bukti, kesuksesan tidak harus dimiliki orang yang terlahir berada, santri sederhana pun memiliki kesempatan sama meraih kesuksesan. Kesederhanaan dan ketidak-berdayaan, ternyata mampu menjadikan senjata menuju kesuksesan. Bahkan, seringkali kesuksesan harus diraih melalui jalan yang berliku, sangat terjal, seperti jalan Lasmini.

*) Ismawati, siswi kelas VIII, Pimpinan Redaksi Al-Ittihad Majalah Sekolah MTs Ulumiyyah Kebonharjo Jatirogo. Saat ini sedang meretas jalan meraih asa menjadi seorang guru agama.

2 komentar Blogger 2 Facebook

  1. Mmm.. saya x boleh kata 100% setuju... tapi tahniah
    admin atas pos yang membuka mata saya.

    Feel free to surf to my web-site - Tips Bekerja Di Rumah

    BalasHapus

 
Majalah Al-Ittihad © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top