Oleh
: Ismawati *)
Sudah hampir dua jam rintik gerimis belum juga berhenti. Suara kilat dan pepohonan yang terterpa angin seolah membawa pesan duka bagi seseorang. Tak ada satupun celoteh dari anak-anak kampung yang biasanya selalu hadir menjelang senja. Kecuali Legi, yang justru terlibat percakapan panjang dengan Kliwon, suaminya. Sore itu, masa depan Lasmini menjadi judul bahasan. Dalam hati, mereka berharap, Lasmini tidak mengikuti jejak orang tuanya yang miskin
tak berdaya dan sudah biasa mendapatkan hinaan dari orang lain. Karena keadaan
ekonomi yang serba kekurangan, Kliwon pun bingung. Hingga akhirnya kembali
terjadi perdebatan antara mereka berdua, seperti hari-hari sebelumnya.
Itulah yang sering terjadi antara Kliwon dan Legi. Sepasang suami istri yang hidup tak berdaya di sebuah rumah reot berdinding bambu. Penderitaan Kliwon dan Legi seolah bertambah karena Lasmini, anak semata wayang mereka, begitu malu dan gengsi dengan keadaan sang orang tua. Namun begitu, Kliwon dan Legi tetap sabar dan tabah menjalani pahitnya kehidupan.
Itulah yang sering terjadi antara Kliwon dan Legi. Sepasang suami istri yang hidup tak berdaya di sebuah rumah reot berdinding bambu. Penderitaan Kliwon dan Legi seolah bertambah karena Lasmini, anak semata wayang mereka, begitu malu dan gengsi dengan keadaan sang orang tua. Namun begitu, Kliwon dan Legi tetap sabar dan tabah menjalani pahitnya kehidupan.
“Pak,
kita ini memang miskin, tidak punya
apa-apa. Namun pak, masa depan Lasmini tetap menjadi tanggung jawab kita. Dia
satu-satunya anak kita pak, ingat itu,” ceplos Legi meyakinkan suaminya.
”Mbok,
aku tahu. Tapi kita ini memang miskin, tidak mampu. Bahkan sudah biasa dihina
orang. Makan saja hanya nasi jagung. Mana bisa kita melanjutkan sekolahnya
Lasmini mbok,” sahut Kliwon dengan nada tinggi.
Untuk
beberapa saat keduanya terdiam, termenung dengan segala ketidak-berdayaan.
Nyaring celoteh cicak di dinding rumah
reot itu, seolah memberikan ledekan kemiskinan Kliwon dan Legi.
“Pokoknya,
Lasmini harus kerja di kota, agar kebutuhan kita bisa terbantu mbok,” tiba-tiba Kliwon bersuara.
“Nggak
pak, enggak. Aku ingin Lasmini kita kirim ke pesantren
saja. Kata pak Jono, di kampung sebelah ada pesanten gratis, tidak memungut
biaya sepeser pun. Apalagi, di sana juga ada sekolahnya pak,” lantang suara
Legi membantah suaminya.
Suasana kembali hening. Kliwon dan Legi
seolah menghadapi kebimbangan luar
biasa. Antara menyuruh Lasmini kerja di kota, atau mengirimnya ke pesantren,
belajar ilmu agama.
Saat
Kliwon dan Legi asyik menikmati kebimbangan, tiba-tiba Lasmini datang. Seperti
biasa, sore itu ia habis nongkrong dengan teman-teman kampungnya yang memang
terkenal urakan itu. Tanpa menghiraukan kedua orang tuanya yang duduk termenung, ia begitu saja melangkah dengan berdendang
kecil, khas anak baru gede.
”Nduk,
sini sebentar. Mbok mau ngomong,” panggil Legi lembut kepada Lasmini.
”Ah,,,ada
apa toh mbok, mbok. Aku ini capek, mau tidur. Gak usahlah tanya ini, tanya itu,
pegel aku mbok hidup seperti ini terus,” bentak Lasmini kepada Legi.
Jengah
melihat sikap anaknya, Kliwon pun tidak srantan. Tangan tuanya ia layangkan
tepat mengenai pipi kiri Lasmini. Seumur-umur, baru kali ini Kliwon berlaku
keras terhadap anak semata wayangnya itu.
Hingga tanpa sadar butiran Kristal menetes dari kelopak mata yang mulai berkeriput.
”Sekarang
bapak kasih kamu dua pilihan Lasmini. Kerja di kota, dapat duit banyak, bisa makan
enak, atau mondok di pesantren, kolot, dan tidak boleh keluar kemana-mana. Pilih mana?,” ucap Kliwon dengan suara bergetar.
Dari
dulu Lasmini memang keras kepala, egois pula. Sama sekali tidak tebersit dalam
pikirannya untuk menuruti setiap perintah
orang tua yang telah membesarkannya itu.Tidak ada kata bekerja apalagi
nyantri dalam kamus
hidupnya. Padahal, dengan kondisi keluarganya yang serba terbatas, mustahil ia
bisa merengkuh kebahagian di masa mendatang.
******
Pada kampung kecil nan sepi di wilayah kota
Ronggolawe Tuban, berdiri sebuah pesantren salaf yang sudah cukup lama tekenal.
Seperti kebanyakan pesantren lain, disana diajarkan berbagai nilai kehidupan,
dengan Al-Qur’an sebagai pedoman, dan Sunah Nabi sebagai tuntunan. Satu hal
yang membuat pesantren itu mudah dikenal, yaitu sebuah pohon kelapa bercabang
delapan tumbuh subur di halaman belakang asrama santri. Di pesantren itulah, Kliwon dan Legi berencana memondokkan Lasmini.
Pagi itu, matahari
belum begitu tulus bersinar, ketika Kliwon, Legi dan Lasmini sudah menginjakkan
kaki di halaman sebuah pesantren. Setelah untuk
beberapa lama terpaku melihat kondisi fisik pesantren, mereka pun beranjak
menuju kediaman kyai. Semua yang menjadi harapan Kliwon dan
istrinya mengenai Lasmini disampaikan kepada kyai.
Mendengar
penjelasan panjang lebar dari Kliwon dan Legi, sang kyai pun terharu dan dengan
senang hati menerima Lasmini sebagai santri barunya. Entah kenapa, tatapan mata
sang kyai begitu dalam menyorot wajah Lasmini. Hingga akhirnya terucap kata
lirih namun jelas terdengar di telingan Kliwon dan Legi, “Suatu saat nanti, anakmu akan menjadi orang besar,
insya Allah,”.
Sejak
itulah, Lasmini menyandang status baru, sebagai seorang santri. Sebuah hal yang
tidak pernah terbayang dalam hidupnya. Baginya, pesantren adalah penjara yang
membatasi kebebasan seseorang. Hidup di
pesantren ibarat burung yang terkungkung dalam sebuah sangkar, tidak bisa
mengepakkan sayap, menjelajah setiap sudut fana duniawi.
******
Seperti
biasa, ratusan santri berkumpul di aula bersiap mengikuti pengajian. Mereka
antusias nderes isi kitab yang pada hari sebelumnya telah dituturkan oleh sang kyai. Namun,
tidak dengan Lasmini, yang justru
bingung dan hanya menatap kosong,
menyapa setiap sudut ruang aula tua itu. Lasmini
memang belum pernah mengenal pesantren. Masih melekat betul dalam pikirannya, pesanren itu kolot, jorok, membatasi kebebasan dan tentu saja
kuno. Hidup di pesanren hanya langkah bodoh dan mensia-siakan dunia.
Sebelum
kyai datang, suasana aula begitu ramai dan panas. Apalagi, terjadi perdebatan kecil
antara Badrun, seorang santri senior di pesantren itu, dengan Ariel, santri
yang terkenal pandai dan kalem itu. Tiba-tiba
Badrun dan kelompoknya terdiam ketika tanpa sengaja melihat dari balik satir, sosok
Lasmini, yang tengah duduk, termenung
sendiri di pojok aula.
’’Eh
brow itu bukannya santri yang ada di dalem kyai tadi,’’ Tanya Badrun kepada santri
lainnya.
“Iya
Bro betul. Memang kenapa???,” sahut Sholeh.
Belum sempat Badrun menjawab tiba-tiba, terdengar suara
langkah kaki kyai menuju aula. Itu artinya semua santri harus sudah menempati
posisi masing-masing, bersiap menerima siraman rohani dari kyai.
Suasana
yang begitu ramai itu mendadak menjadi
hening, ketika kyai datang dengan menenteng sebuah kitab tebal. Sudah menjadi
kebiasaan sang kyai,
menggunakan sandal gapyak setiap akan mengajar. Hal itu membuat para
santri akan sangat hafal, saat kyai datang dari ndalem menuju aula.
Satu
jam berlalu, akhirnya pengajian pun usai. Para santri kembali ke asrama kecuali
Badrun dan kelompoknya, yang justru cangkruk di bawah kelapa bercabang
sambil ngobrol ngalor-ngidul.
“Eh,
bener ya brow, apa yang dikatakan mbah yai tadi, paling sulit jadi orang
bersyukur,”ujar Badrun.
”Bener,
Drun. Memang paling sulit itu jadi orang bersyukur. Bukan hanya orang besar
saja, orang kecil pun sering tanpa sadar kufur atas kenikmatan yang sudah diberikan Allah.”sambung Kabul.
”By
the way, tentang santri baru itu bagaimana friend’s
???,” tanya Badrun tiba-tiba.
Tanpa
disangka rasa penasaran Badrun tentang Lasmini, santri yang baru datang
beberapa hari lalu itu kembali muncul.
”Sebenarnya
menarik brow. Tapi,
kayaknya galak, judes.,Repot kalau punya istri kayak gitu. Mau minta kopi, eh,,,bisa-bisa malah diomelin. Gulanya mepet
mas,,,harga kopi naik, blue gas mahal. Kaga selera ah gua,”sahut
Sholeh dengan gaya khasnya, celelean.
“Belum
lagi kalau sudah nekuk jari. Gincunya habis mas, bedaknya sudah koretan mas, uang
belanja menipis mas, dah lima hari gak keramas mas, samponya dah bablas.
Sepertinya bukan selera gua tuh,” imbuh Sholeh sambil nekuk jarinya,
mempraktikkan gaya khas kyai Anwar Zahid.
Kontan
jawaban panjang Sholeh membuat teman-temannya tertawa ngakak. Di mata temannya,
Sholeh menag paling jago mencairkan suasana. Itulah yang membuat setiap
mereka berkumpul selalu diiringi suasana renyah dan tidak menjemukan.
Tiba-tiba
obrolan berhenti saat Ariel lewat di hadapan
mereka. Badrun cs memang selalu usil dan menggoda dimanapun Ariel berada. Hingga
kembali terbersit niat Badrun untuk kembali mengusili Ariel. Melihat kebiasaan
Badrun, Ariel tak bergeming. Dengan langkah santai ia tetap berjalan membawa
kitab yang baru saja diajarkan oleh kyai tadi. Langkah Ariel baru terhenti
saat, Badrun dan Sholeh berdiri tepat di depannya.
”Woi,
Riel. Gimana nich kabar si Luna ,”goda Badrun cengengesan.
”Denger-denger,
setelah katam Alfiah nanti mau kamu lamar ya,” tambah Sholeh dan diikuti oleh
gelak tawa teman-temannya.
Mereka
menggoda Ariel habis-habisan,. Ariel tetap diam dan tertunduk mendapati
perlakuan itu. Namun, karena terus-menerus digoda, kesabarannya pun runtuh juga. Akhirnya terjadi keributan kecil tepat di
bawah kelapa bercabang.
Keributan
baru berhenti, saat Dhorib, santri sepuh yang bertugas mengurusi
keamanan pesantren datang.
”Kalian
lagi, kalian lagi. Apa gak bosan tiap hari kerjaannya berantem terus. Sesama santri itu tidak boleh berantem, mengerti,”
tutur Dhorib berwibawa.
Badrun
cs dan Ariel pun tertunduk, menerima nasehat dari Dhorib. Mereka saling meminta
maaf dan akhirnya sadar bahwa apa yang dikatakan Dhorib itu benar. Santri itu
didik bukan untuk menjadi jagoan, tetapi agar berakhlakul kharimah. Menyembah
yang esa, menghormati yang tua, menghargai yang muda dan mengasihi sesama.
******
Hari
demi hari berlalu, tahun pun telah berganti.
Nan jauh disana, Kliwon dan Legi tiba-tiba teringat anak semata wayang mereka,
Lasmini, yang kini tinggal di pesantren. Sudah hampir tiga tahun ini, Lasmini nyantri, namun Kliwon dan Legi
sama sekali tidak menjenguknya. Entah mengapa. malam yang begitu dingin itu justru mengingatkan mereka akan sosok
Lasmini..
”Pak,
kira-kira bagaimana keadaan Lasmini
disana, sudah tiga tahun kita tidak sowan dan jenguk di pesantren.
Apalagi, kita juga sama seklai tidak pernah
mengiriminya uang pak,” keluh Bu Legi.
”Sudahlah
mbok, jangan terlalu memikirkan Lasmini, dia sudah dewasa. Lagi pula ada kyai
yang ngurus,” kata Kliwon sedikit menyembunyikan kegelisahan.
Dalam
hati, ia membenarkan ungkapan sang
istri. Begitu lemah dirinya, hingga sekedar menjenguk Lasmini pun tidak mampu
dilakukannya. Memang begitulah keadaan Kliwon, untuk makan saja dirinya harus bekerja seharian menjadi buruh sawah, itupun jika ada yang memerintahnya.
Menghadapi
kenyataan itu, Kliwon hanya bisa pasrah. Terlihat jelas ia juga sedang berpikir betul bagaiman bisa menjenguk Lasmini. Tanpa sadar
ia pun mondar-mandir tidak jelas. Untuk beberapa lama, Kliwon dan Legi
terhanyut dengan pikiran masing-masing. Detak jam dinding pemberian haji Aziz
yang baru saja pulang haji dua minggu
lalu itu, seolah memberikan irama atas kesedihan mereka.
Mereka
baru tersadar saat tiba-tiba datang Lurah Klowor
dengan gaya khasnya, congak dan kasar. Kliwon dan Legi sudah mafhum akan niat Lurah Klowor, pasti tidak lain
adalah menagih hutang mereka yang sudah menumpuk dan lama tidak diangsur.
Maklum, sebagai buruh sawah, Kliwon hanya
bisa mendapatkan Rp15.000,-, itupun tidak setiap hari.
’’Kliwon,
apa maksudmu sudah setahun ini tidak membayar hutang. Apa kamu sudah lupa
hutangmu,’’ hardik Lurah Klowor sangar.
“Begini lurah klowor, kami masih belum punya
uang, Lasmini yang di pesantren saja tidak pernah mendapat kiriman dari kami, apalagi
untuk membayar hutang,’’ jawab Legi terdengar ciut nyali.
“Betul pak lurah. Kami memang belum memiliki
uang lebih untuk membayar hutang,” imbuh Kliwon merendah.
“Kamu
tahu tidak, jika ditotal sama bunganya, hutangmu sudah menumpuk menjadi Rp15
juta. Paham Kliwon?,” sahut lurah Klowor marah.
“Begini
saja. Hutangmu tak anggap lunas sekalian
bunganya. Tapi syaratnya
satu, Lasmini biar tak kawin, jadi istri keempatku. Bagaimana Kliwon dan Legi?,”
imbuh lurah Klowor sedikit melunak berusaha memberi
penawaran pada Kliwon dan Legi.
Mendengar
tawaran itu, sontak Legi tercengang. Rasa bimbang dan bingung penuh sesak
menumpuk dalam pikirannya. Sesungghnya dalam hati sangat tidak rela menjadikan Lasmini yang masih belia dan sedang menuntut ilmu di
pesantren itu, sebagai tebusan hutangnya kepada lurah Klowor. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum di kampung, jika lurah Klowor memang mata keranjang dan selalu mengincar anak
gadis orang-orang yang terjerat hutang kepadanya.
Di
tengah kebimbangan Legi, tiba-tiba suaminya, Kliwon
mengeluarkan jawaban yang baginya seperti petir di siang bolong. Kliwon tanpa
diduga menyetujui tawaran lurah Klowor.
“Saya
izinkan jenengan menikahi Lasmini. Namun, hutangku benar-benar dianggap lunas. Satu lagi, rumahku yang reot ini harus jenengan bangun
lurah Klowor,” kata Kliwon gelap mata.
Kliwon
dari dulu memang tidak pernah berubah, masih saja mata duwitan dan cetek
pikiran. Lasmini anaknya yang saat ini tengah menimba ilmu agama di pesantren begitu
saja ia serahkan kepada lurah Klowor. Berbeda dengan Legi yang selalu berharap anaknya
bisa menjadi wanita solehah dan bisa mendoakan orang tuanya. Meskipun dalam
keadaan apapun
Legi
tidak bisa berbuat banyak. Mau tidak mau ia pun harus menuruti langkah suaminya
yang menerima tawaran lurah Klowor. Sebuah pilihan
yang sangat sulit. Apalagi lurah Klowor sempat mengeluarkan ancaman akan
membawa suaminya ke meja hijau, jika tidak mampu melunasi hutang.
******
Keesokan harinya, saat semua santri baru saja selesai
ngaji Tafsir Jalalain dengan kyai, sebuah sedan mewah kinyis-kinyis sudah
terparkir di halaman pesantren tempat Lasmini menimba ilmu. Lurah Klowor
sengaja membawa mobil terbarunya itu, dengan harapan Lasmini tertarik dan
bersedia menuruti permintaan orang tuanya nanti. Untuk menikah dengannya,
sebagai istri keempat.
Setelah bertemu dengan kyai, Kliwon menjelaskan panjang
lebar perihal rencananya terhadap Lasmini. Juga tentang banyaknya hutang
mereka, sehingga karena lama tidak diangsur, bunganya pun makin menumpuk.
“Luna..,,,tolong kamu panggil Lasmini kesini, bapak lan ibunya datang,” tutur Kyai kepada seorang pengurus putri.
Bergegas Luna menuju kamar Lasmini memberikan kabar yang sepertinya sudah lama ditunggu Lasmini itu, dijenguk oleh orang tuanya.
“Lasmini…
Lasmini… orang tuamu datang menjenguk,”
kata Luna kepada Lasmini seolah ikut gembira.
“Oh
ya, dimana mereka?” tanya Lasmini.
“Itu
di ndalem, sedang ditemui mbah yai,” sambung Luna.
“Ah
nggak percaya, mana mungkin mereka ingat denganku?. Mereka sudah tidak mengganggap aku sebagai anaknya,
kamu tahu sendiri kan, aku tidak pernah dijenguk,” bantah Lasmini.
Namun sebagai seorang anak, naluri Lasmini tidak bisa
berbohong. Perasaan haru dan senang campur aduk di dadanya. Rasa rindu yang
sudah terpendam selama tiga tahun itu akhirnya akan segera tertuntaskan. Tanpa
disadari, menetes air matanya, air mata seorang bidadari.
Luna berusaha meyakinkan sahabatnya itu, dengan keibuan
ia mengelus lembut kepala Lasmini. Selama ini, Luna memang menjadi curahan hati
Lasmini. Mulai saat Lasmini menganggap pesantren kolot dan ketinggalan jaman,
hingga akhirnya ia benar-benar bisa merasakan kedamaian hidup di pesantren.
Terdekap begitu teduh dalam rindang kelapa bercabang.
“Mana ada Lasmini, orang tua yang tidak sayang pada
anaknya. Hanya kondisi orang tuamu yang membuat mereka begitu lama ttidak
menjengukmu,” ucap Luna berusaha meluluhkan hati Lasmini.
“Kamu nggak boleh gitu Lasmini, mereka itu datang
jauh-jauh untuk nyambangi sampean. Mereka kangen sama kamu Las, apa kamu
tidak ingat apa yang dikatakan kyai. Allah memerintah manusia untuk selalu
berikhtiar dan bertawakkal dalam menghadapi setiap cobaan. Dulu aku juga pernah
mengalami semua itu, hidup itu penuh perjuangan Las,” jelas Luna panjang lebar
meyakinkan sahabatnya itu.
Rasa rindu Lasmini akan orang tuanya memang sudah
menggebu. Ia masih memendam rasa kecewaa kepada mereka, karena sudah selama 3
tahun ini tidak pernah dijenguk. Namun, ia sadar keterbatasan ekonomi membuat
orang tuanya tidak bisa menjenguknya, seperti yang dilakukan oleh orang tua
santri lainnya.
“Mbok, bapak, kenapa kok baru nyambangi Lasmini,?” ungkap Lasmini sambil
memeluk erat mboknya sambil menangis
tersedu.
Trenyuh hati Legi
mendapat pertanyaan dari putri kesayangannya itu. Ia pun membalas pelukan
Lasmini. Tangisan Legi semkain tak terbendung saat tersadar niat utama
menjenguk Lasmini.
“Begini Lasmini, kedatangan orang tuamu ini, yang pertama
adalah silaturrahim. Sedangkan maksud lainnya adalah, sekalian mengajak
kamu boyong. Mereka berniat menikahkan kamu Lurah Klowor. Sekarang,
semuanya tergantung kamu?,’’ tutur kyai memecah suasana haru Lasmini dan Legi.
Mendengar itu, pipi Lasmini seperti mendapatkan tamparan
keras. Tidak pernah teringias dalam pikirannya harus menikah dalam usia yang
relatif muda, 18 tahun. Belum lagi, lurah Klowor yang akan menikahinya itu,
sudah beristri tiga.
Lasmini benar-benar tercengang. Di saat jiwanya telah
luluh oleh mutiara indah pesantren, kini justru sebuah kenyataan pahit siap menerkamnya.
Terbersit dalam pikirannya untuk memberanikan diri menolak permintaan sang
orang tua.
’’Ngapunten
kyai, saya masih ingin tholabul ‘ilmi di pesantren ini. Rasanya belum
cukup ilmu yang telah saya pahami disini,‘’ ungkap Lasmini berusaha tetap tenang.
”Las, kami terpaksa menerima
tawaran lurah Klowor untuk menjadikanmu sebagai istrinya. Hutang bapak begitu
banyak kepadanya Lasmini, hingga sepertinya tidak mungkin untuk bisa
membayarnya lunas. Satu-satunya jalan ialah menerima tawaran lurah Klowor,”
jelas Legi kepada anaknya.
“Betul Lasmini, bapak tidak ada pilihan lain,” imbuh
Kliwon datar.
Hati Lasmini tetap berontak, tidak menerima rencana bapak dan mboknya itu. Sempat
terjadi perdebatan kecil antara kyai
dan Lurah Klowor yang sebelumnya hanya terdiam. Kyai berusaha merubah niat lurah Klowor agar tidak
jadi menikahi Lasmini. namun, begitulah lurah Klowor, jika sudah memiliki
keinginan sulit untuk ditepis.
Dengan pertimbangan panjang, dan juga melihat ketulusan
niat Lasmini, sang kyai pun tergerak hatinya. Hutang Kliwon dan Legi sebesar
Rp15 juta kepada Lurah Klowor akhirnya ia lunasi. Meskipun uang itu diambilkan
dari hasil panen yang semestinya untuk makan sehari-hari santri. Kyai yakin,
Allah Maha Kaya, dan sudah mengatur segala rizki untuk umatnya. Semua itu untuk
Lasmini, santri miskin yang baru saja menemukan tetesan hidayah.
Melihat kenyataan itu, rasa dongkol dan kesal menyatu
dalam hati lurah Klowor. Untuk menutupi kekecewannya itu, ia memberikan deadline
kepada kyai untuk bisa melunasi hutang Kliwon hingga satu minggu ke depan. Ia
pun ngeloyor pamit lebih dulu untuk pulang, tentu dengan memendam rasa
kecewa mendalam.
”Terima kasih banyak mbah yai, kami berhutang budi sama panjenengan.
Kami janji, suatu saat akan mengembalikannya, semampu kami,” ungkap Kliwon
terharu.
Perbincangan pun berlanjut antara Kyai, Kliwon, Legi
serta Lasmini. Suasana benar-benar cair, saat kyai menceritakan perkembangan
Lasmini selama menjadi santri kepada Kliwon. Hingga akhirnya, tanpa terasa
waktu sudah beranjak siang. Kliwon dan Legi pun bersiap pamit, kembali memasrahkan
Lasmini kepada sang kyai.
******
Suatu malam yang terhias gerimis, Lasmini tiba-tiba terbangun dari tidur. Jarum jam masih terpaku di angka tiga, dan ia
tersadar harus bermunajat kepada sang Rabbi. Mungkin, malaikat terlalu sayang
kepadanya, hingga tak tega membiarkannya tidur sebelum menuntaskan sunah nabi,
layaknya seorang muslimah sejati.
Di tengah malam yang masih menderu itu, Lasmini mencoba
melangkahkan kaki kaku dan ngilunya menuju tempat wudlu. Setelah sholat
tahhajud, malam yang penuh dengan pancaran sinar bintang itu membawanya pada rasa
penyesalan mendalam. Dalam sebuah do’anya terlantun kata taubat, dan seketika itu juga ia tak mampu membendung air mata, bagaikan
rintikan air hujan yang menetesi pada bumi
gersang.
Ya
Allah ya Karim……..
Begitu
keras hati ini, hingga lantunan indah mutiara sulit menembusnya.
Begitu
tuli telinga ini, hingga firmanmu tak bisa kudengar
Begitu
buta mata ini, hingga tak bisa melihat keindahan
wujudmu
Dan
begitu bisu mulut ini, hingga tidak pernah tergerak untuk
memujamu
Aku terendam dalam lumut dosa
Ya
Allah ya Robbi……
Maafkanlah
aku yang telah lalai
Mengingkari
amanah-Mu
Mendustai
perintah-Mu
Terpesona
oleh fana duniawi
Ya
Allah Ya Rahim…….
Berilah
sedikit saja tetes hidayah
Agar
aku tersadar, tersentak dan terbangun
Meninggalkan
ketidak-berdayaan
Ya
Allah Ya Qoyyum
Sudilah
kiranya engkau melapangkan niat suciku
Bebaskan
jiwa ini dari belenggu kenikmatan semu
Dalam
sisa nafas, akan kuraih jalan
Menuju
Ridho-Mu
******
Empat tahun kemudian
Setelah lulus Madrasah Aliyyah, Lasmini meraih beasiswa
dan melanjutkan pendidikan pada sebuah Universitas terkemuka, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Seperti impiannya
saat hidup di pesantren, ia berhasil belajar pada Fakultas Tarbiyah jurusan
Pendidikan Agama Islam.
Empat
tahun setelah itu, hari yang ditunggu Lasmini pun tiba, dimana dia akan
diwisuda bersama 435 mahasiswa lainnya. Kedua orang tuanya, Kliwon dan Legi begitu
bangga atas pencapaian Lasmini yang sebelumnya tidak pernah
membayangkan memakai toga. Terlebih, Lasmini meraih predikat cumlaud
dan dikukuhkan sebagai wisudawati terbaik pada angkatan wisudanya.
Sebuah bukti, kesuksesan tidak harus dimiliki orang
yang terlahir berada, santri sederhana pun memiliki kesempatan sama meraih kesuksesan. Kesederhanaan dan ketidak-berdayaan, ternyata
mampu menjadikan senjata menuju kesuksesan. Bahkan,
seringkali kesuksesan harus diraih melalui jalan yang berliku, sangat terjal,
seperti jalan Lasmini.
*) Ismawati, siswi kelas VIII,
Pimpinan Redaksi Al-Ittihad Majalah Sekolah MTs Ulumiyyah Kebonharjo Jatirogo.
Saat ini sedang meretas jalan meraih asa menjadi seorang guru agama.
Subhanallah...
BalasHapusMmm.. saya x boleh kata 100% setuju... tapi tahniah
BalasHapusadmin atas pos yang membuka mata saya.
Feel free to surf to my web-site - Tips Bekerja Di Rumah